Jumat, 30 Januari 2015

RINGKASAN BUKU "MENUJU KEESAAN GEREJA"



Spesisfikasi 
Judul Buku      : Menuju Keesaan Gereja
Penulis             : Dr. Christiaan de Jonge
Penerbit           : BPK Gunung Mulia, Jakarta
Tahun              : 2014
Tebal               : xviii + 242 halaman

Buku ini membahas banyak hal  tentang oikumene. Dimulai dengan pendahuluan yang membahas pengertian oikumenika. Oikumenika adalah ilmu yang menyangkut oikumene. Oikumenika membahas usaha-usaha orang Kristen dan gereja-gereja yang berbeda-beda untuk menjadi satu atau esa. Jadi, dengan kata lain oikumene bertolak  dari perbedaan-perbedaan paham teologis yang hendak diatasi. Soal perbedaan ini dapat didekati dari beberapa segi. Yang pertama adalah dari segi historis, yakni melihat bagaimana usaha-usaha mewujudkan keesaan ini dalam sejarah gereja. Selain dari segi historis, juga ada segi praktis. Dalam sejarah gerakan oikumenis seringkali kerinduan untuk menjadi esa lahir dari kerjasama yang  telah ada, umpamanya dibidang pekabaran Injil. Karena ada tugas yang dihadapi bersama, maka orang-orang Kristen dan gereja-gereja mencoba memperdalam kerjasama yang ada dan mencari dasar teologis bersama untuk kerjasama mereka.   
Oikuimene adalah bahasa Yunani yang berasal dari kata oikeo yang berarti tinggal, berdiam, atau juga mendiami. Oleh sebab itu arti harafiah oikumene adalah “yang didiami”. Tetapi participium ini telah beroleh arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah geografis: dunia yang didiami (Luk 4:5; Rm 10:18; Ibr 1:6). Dapat juga berarti: umat manusia (Kis 17:31; 19:27; Why 12:9). Dapat juga mendapat arti politik: kekaisaran Romawi (Kis 24:5) dan semua penduduknya (Kis 17:6).

Akar-Akar Gerakan Oikumenis Pada Abad-Abad Lalu, Sampai Dengan Konperensi Pekabaran Injil Sedunia Di Edinburgh (1910)
Pada zaman reformasi Katolik Roma untuk pertama kali (sejak khisma dengan Gereja Ortodoks Yunani tahun 1054) diperhadapkan dengan ancaman perpecahan besar-besaran. Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari gereja (1521), namun tetap diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut-pengikutnya, kaum Injili, demi kesatuan kaum Kristen dari ancaman Turki. Usaha-usaha ini, yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik, menghasilkan pembicaraan-pembicaraan di Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540) dan Regensburg (Ratisbon, 1541) di wilayah kekaisaran Jerman dan di Prancis, tetapi persetujuan tidak dicapai.  Dikalangan kaum Injili ternyata tidak mungkin juga untuk mencapai kesatuan. Walaupun kaum Injili memisahkan diri dai Roma, namun tetap ada kesadaran, baik  di kalangan Protestan maupun Katolik-Roma bahwa satu warisan menjadi milik bersama, yaitu warisan gereja kuno. Kaum Reformator mengakui ketika simbol gereja kuno (pengakuan iman rasuli, Nicaea-Constatinopel dan Athanisius) sebagai simbol  oikumenis dan lebih luas, menerima hasil  konsili-konsili oikumenis gereja kuno sebagai sesuai dengan Alkitab.
Timbul kesadaran bahwa usaha-usaha untuk memulihkan perpecahan yang diakibatkan reformasi harus bertolak dari warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di kalangan kaum humanis, cendikiawan katolik maupun Protestan yang mengecam keadaan gereja Katolik Roma pada zaman itu karena telah menyimpang dari ajaran dan praktik gereja kuno. Namun usaha perdamaian mereka agak bersifat intelektual dan individual, dan kurang berakar dalam gereja.
Pada abad ke-17 dan ke-18, usaha-usaha dari abad reformasi dilanjutkan:
1.      Mencari titik persatuan dalam warisan gereja kuno.
2.      Merumuskan semacam daftar pasal-pasal iman yang dianggap azasi untuk iman Kristen, yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi tidak boleh menjadi alas an untuk perpecahan antara orang-orang Kristen.
Kekurangan usaha-usaha di atas adalah bahwa yang pertama  dianggap terlalu intelektualitas untuk diterima secara umum di gereja-gereja. Sedangkan yang kedua waktunya belum matang. Gereja-gereja masih terlalu mengindahkan rumusan-rumusan konvesional masing-masing.
Setelah rumusan-rumusan konfesional kehilangan peranan yang menentukan. Pada zaman pencerahan dan pietisme munculah pendapat yang mengatakan bahwa iman Kristen bertolak dari hati pribadi. Kesalehan pribadi, penghayatan iman secara individual adalah yang terutama, dan semua hal lain, seperti keanggotaan gereja atau penerimaan suatu konfeksi adalah hal kedua. Dengan penekanan pada individu maka konfeksi gereja direlativer. Gereja berusaha mencari hubungan dengan gereja-gereja lain. Pietisme, yang muncul di gereja Lutheran Jerman, sejak awal bersifat terbuka terhadap usaha-usaha yang sedemikian di kalangan Calvinis, bahkan Katolik Roma.
Sikap terbuka di kalangan pietis kemudian sangat mempengaruhi perhimpunan-perhimpunan pekabaran injil. Perhimpunan-perhimpunan ini juga mengutamakan iman sederhana kepada Yesus Kristus. Pada abad ke-19 timbulah usaha lain sbb:
1.      Usaha mempersatukan orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang mempunyai dasar teologis atau konfesional yang sama.
2.      Usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan yang diprakarsai oleh Thomas Chalmers (1780-1847), yang kemudian hasilnya ialah pembentukan Evangelical Alliance di London, tahun 1846. Namun ini juga tidak pernah berhasil untuk menupulkan orang-orang Kristen yang dapat dianggap wakil gereja mereka dan tetap bersifat perhimpunan yang pribadi.
3.      Voluntary movement yang lahir karena pengaruh Revivalism, gerakan kebangunan rohani di Amerika Serikat. Misalnya: YMCA (Persatuan para pemuda Kristen 1844), YWCA (persatuan para pemudi Kristen 1854), SCM (gerakan mahasiswa kristen). Yang memiliki pandangan bahwa bukan konfeksi gereja yang penting, tetapi iman murni kepada sang juruselamat. Tugas bersama orang Kristen adalah menginjili.
4.      Usaha untuk bekerja sama di bidang pekabaran injil. Dimulai dengan penerjemahan Alkitab. Lembaga Alkitab yang pertama untuk penyebaran Alkitab di lapangan pekabaran injil adalah British and Foreign bible Society, tahun 1804. Juga diadakannya konferensi-konferensi yang menghasilkan pemahaman bahwa dalam pekabaran injil perlu suatu pembagian lapangan pekabaran injil untuk menghindari apa yang disebut “pekabaran injil rangkap”.
Sejak 1854 diadakan konperensi-konperensi pekabaran injil untuk dunia anglo-Amerika, tahun 1866 untuk daratan Eropa, tahun 1860 di Liverpool dan 1885 di London diadakan Konperensi Pekabaran Injil International. Tahun 1900 di New York diadakan Eucumenical Conference on Foreign Missions, yang diselenggarakan oleh Evangelical Alliance.
Usaha ini bermuara pada konperensi pekabaran injil sedunia di Edinburgh (14-23 juni 1910), yang dipelopori oleh John Raleigh Mott (1865-1955). Konperensi ini untuk membahas sejumlah persoalan yang timbul di lapangan pekabaran injil. Pokok-pokok yang di bahas: 1) Pekabaran injil di seluruh dunia. 2) Gereja di lapangan pekabaran injil. 3) Pendidikan dan pengkristenan. 4) Berita Kristen dan agama-agama bukan Kristen. 5) Persiapan para pekabar injil. 6) Hubungan dengan pangkal di dalam negeri. 7) Hubungan dengan pemerintah. 8) Kerjasama dan keesaan.
Keputusan ini di kemudian hari ternyata berarti langkah awal di sejarah oikumene, sehingga konperensi pekabaran injil sedunia di Edinburgh 1910 dilihat sebagai saat kelahiran gerakan oikumenis.

Akibat Edinburgh (I) : International Missionary Council 1921-1961
Continuation Comite yang terbentuk di  Edinburg 1910 terhambat karena pecahnya Perang Dunia Dunia Pertama (1914-1918). Baru pada tahun 1921 didirikan International Missionary Council (IMC), yang ketuanya John Mott. Setelah Edinburg, berdirilah dewan-dewan semacam itu seperti Dewan-dewan Kristen Nasional ( di India, Korea, Jepang, India dan Tiongkok). Sejak Tahun 1912 mulai diterbitkan International Review of Mission (IRM), majalah untuk pekabaran Injil dan missiologiyang ada sampai sekarang.
Konperensi-konperensi pekabaran Injil yang diadakan sejak Edinburg sampai saat IMC memutuskan untuk menggabungkan diri dengan Dewan Gereja-gereja Sedunia adalah sebagai berikut:
1.      Konperensi di Yerusalem (23 Maret-8 April 1928) yang membicarakan hubungan antara gereja-gereja muda dan tua, hubungan dengan agama-agama lain, sekularisasi serta comprehensive approach to the Jews. Comprehensive approach bertolak dari pendapat bahwa Injil menyangkut seluruh manusia, yaitu jiwanya, hubungannya dengan sesama manusia dan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu pekabaran Injil tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan orang-perorangan. Pekabaran Injil juga termasuk pekerjaan sosial, medis, pendidikan, singkatnya kegiatan-kegiatan yang mencakup segala bidang kehidupan. Pekabaran Injil adalah pemberitaan kabar syalom yang menyangkut manusia seutuhnya.
2.      Tambaran 12-29 desember 1938, yang memainkan peran penting dalam konperensi ini adalah buku Dr. H. Kraemer, the Christian message in a non-Christian World untuk melawan buku Rethinking Missions (1932) yang membicarakan tentang adanya pengaruh Barth dan demikian pengaruh ini masuk dunia pekabaran Injil international, menolak kolonialisme, memberi perhatian kepada kemandirian gereja-gereja muda, pendidikan untuk pendeta-pendeta pribumi dan pendidikan teologia yang baik, kerjasama dan keesaan.
3.      Whitby (kanada) 5-24 juni 1947. Temanya adalah: The Christian Witness in a Revolutionary World (kesaksian Kristen dalam dunia yang revolusioner). Gereja-gereja tua dan muda mulai saling mengakui sebagai “partners in obedience” (mitra dalam ketaatan), yang sama-sama diperhadapkan dengan tugas mengabarkan injil di seluruh dunia. Istilah “partners in obedience” menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara gereja tua dan muda karena keduanya adalah bagian gereja oikumenis, gereja sedunia, yang memiliki tugas yang sama. Keduanya haruslah saling membantu dalam melaksanakan tugas ini. Ini menunjukan bahwa dunia tidak lagi di bagikan dalam lapangan pekabaran Injil.
4.      Willingen (jerman) 5-12 juli 1952, dengan tema “The Missionary Obligation of The Church” (Kewajiban gereja untuk mengabarkan Injil).
5.      Achimota (Ghana, Africa), 28 desember 1957- 8 januari 1958. Yang bertema “The Christian Mission in This Hour” (Misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk mengintegrasikan IMC dengan DGD.

Akibat Edinburg (II): Gerakan Faith And Order 1910-1937
Tujuan Faith and Order, yang dirumuskan oleh Brent, adalah mencari jalan menuju keesaan gereja. Untuk mencapai tujuan ini Brent mengusulkan untuk mengadakan suatu konperensi yang mempercakapkan soal-soal iman dan tata gereja  dan melihat bagaimana halangan-halangan untuk keesaan gereja dapat diatasi.
Perkembangan yang terjadi di kalangan gereja-gereja yang bercorak Anglikan. Rumusan dasar keesaan di Anglikan Communion yang dikenal dengan nama Lambeth Quadrilateral mencantumkan empat hal yang menggabungkan gereja-gereja Anglikan yaitu: 1) Alkitab sebagai ukuran iman. 2) Pengakuan iman rasuli dan pengakuan iman nicea-constantinopel. 3) Kedua sakramen, baptisan dan perjamuan kudus. 4) Jabatan uskup yang historis. Penekanan pada keesaan gereja yang kelihatan dan terwujud secara organisatoris merupakan sumbangan Anglican Communion kepada gerakan Faith and Order.

Akibat Edinburg (III): Gerakan Life And Work 1919-1937; World Alliance 1914-1948
Prasejarah Life and Work terdapat dalam aksi Kristen di bidang sosial pada abad ke-19. Banyak organisasi Kristen melibatkan diri dalam aksi sosial. Maka timbulah kesadaran bahwa dalam menghadapi hal-hal sosial orang-orang Kristen harus bekerjasama. Kerjasama ini di bidang sosial-ekonomi dan bidang perdamaian internasional. Salah seorang pelopor gerakan ini adalah J.H. Wichern (1808-1881). World Aliance adalah salah satu organisasi di bidang ini. Sesudah Perang Dunia Pertama, World Alliance membicarakan pada konperensi-konperensi soal-soal International seperti Liga Bangsa-bangsa, pelucutan senjata, nasionalisme, dan internasionalisme. Usaha-usaha lain yang mereka lakukan adalah: 1) memperjuangkan kebebasan beragama; 2) melawan halangan-halangan untuk gereja-gereja, sekolah-sekolah dan institut-institut Kristen; 3) mencari penyelesaian konflik-konflik gerejani dan politik yang memecahkan gereja; 4) memajukan hubungan-hubungan persahabatan internasional antara gereja-gereja dan jemaat-jemaat; 6) mencari perdamaian; 6) mendukung usaha-usaha yang memajukan keadilan dalam hubungan antar bangsa.

Pembentukan Dewan Gereja-gereja Sedunia
Semangat untuk mendirikan Dewan Gereja-gereja Sedunia telah dikemukakan sejak ahir Perang Dunia pertama. Sejak 1933 organisai-organisasi oikumenis seperti Faith and Order, Life and Work, IMC, World Alliance, WSCF dan YMCA mulai membicarakan hal ini. Rencana untuk mengadakan siding raya DGD yang pertama tahun 1941 digagalkan karena Perang Dunia II (1939-1945). Pengalaman bersama semasa perang menyebabkan gerakan oikumenis semakin maju. Untuk membuka jalan ke siding DGD yang pertama, hubungan antar gereja-gereja Jerman harus dipulihkan kembali.
Sidang DGD pertama diadakan di Amsterdam, 22-23 Agustus 1948, dan pada tanggal 23 the World Council of Churches didirikan secara resmi.

Sejarah Singkat Dewan Gereja-gereja Sedunia dari Sidang Raya II – VI
Sidang Raya DGD II diadakan di Evanston, 15-31 agustus 1954 dengan tema “Kristus Harapan Dunia”. Ada 6 seksi, yaitu: 1) Faith and Order (Iman dan Tata Gereja- Keesaan Kita di dalam Kristus dan Perpecahan Kita Sebagai Gereja), 2) Penginjilan- pekabaran injil gereja kepada orang-orang yang ada di luar kehidupannya, 3) Masalah-masalah sosial- masyarakat yang bertanggung jawab di dalam perspektif seluruh dunia, 4) Perkara-perkara internasional-orang-orang Kristen dalam pergumulan terhadap masyarakat dunia, 5) Hubungan-hubungan antar kelompok-gereja ditengah-tengah ketegangan ras dan suku, 6) kaum awam- orang Kristen dalam panggilannya.
Sidang Raya DGD III New Delhi (19 nopember-5 desember 1961) dengan tema “Yesus Kristus terang dunia”. Tema ini dibahas dalam 3 seksi, yakni Witness, Service dan Unity. Beberapa peristiwa penting terjadi pada siding raya ini: 1) Penggabungan antara IMC dan DGD yang menunjukan bahwa gereja-gereja barat dan gereja-gereja dari Asia dan Afrika adalah sama penting di gerakan oikumenis. 2) Gereja-gereja ortodoks Rusia, Rumania, Bulgaria, Polandia menjadi anggota sehingga menjadi lebih nyata bahwa gerakan oikumenis bukan saja hal protestan. 3) Keanggotaan DGD diperluas kearah dunia ke3 dan kearah kekristenan pentakostal. 5) Untuk pertama kalinya peninjau-peninjau dari gereja Katolik Roma sebagai hasil sikap lebih terbuka gereja ini.
Sidang raya DGD IV di Uppsala, Swedia 4-20 juli 1968, dengan tema “Lihat, Aku Menjadikan Segala Sesuatu Baru” (Why 21:5). Penekanannya adalah pada pembangunan. Ada 6 seksi: 1) Roh Kudus dan katolisitas gereja. 2) Pembaharuan dalam pekabaran Injil. 3) Ekonomi dunia dan perkembangan masyarakat. 4) Menuju keadilan dan perdamaian dalam perkara-perkara internasiaonal. 5) Ibadah. 6) Menuju gaya hidup baru
Sidang Raya DGD V diadakan di Nairobi, Kenya dari 23 November – 10 Desember 1975. Semula siding ini akan diadakan di Jakarta, namun timbul ketegangan dengan kelompok-kelompok Muslim, dan memuncak pada pembunuhan seorang imam Anglikan. Temanya adalah “Jesus Christ frees and unites” (Yesus Kristus membebaskan dan mempersatukan). Ada enam seksi yaitu: 1) mengaku Kristus dewasa ini; 2) apa yang dibutuhkan untuk keesaan; 3) mencari persekutuan (dialog antara kepercayaan-kepercayaan, kebudayaan-kebudayaan dan ideologi-ideologi); 4) pendidikan untuk pembebasan dan persekutuan); 5) struktur-struktur ketidakadilan dan perjuangan untuk pembebasan; 6) kekuasaan, teknologi, kuallitas hidup.
Sidang  Raya DGD VI diadakan di Vancouver, Kanada, 24 Juli-10 Agustus 1983. Yang hadir sekitar 3000 peserta, dari 314 gereja. Temanya “Yesus Kristus, Kehidupan Dunia”.

Oikumene Denominasional
Sejak 1867 Gereja Anglikan mengadakan konperensi di London, dan pada tahun 1888 diputuskan untuk meneliti hubungan-hubungan dengan gereja-gerja lain, sehingga sehingga semangat oikumenis masuk ke dalam konperensi-konperensi. Reformed and Presbyterian Alliance, sejak bergabung dengan ICC (1970) bernama World Alliance of Reformed Church. WARC dapat dilihat sebagai wadah oikumenis sebab semangat oikumenis sudah ada sejak permulaan.  WARC sangat mendukung DGD. Pada tahun 1876 gereja Methodis mengadakan konperensi untuk mewujudkan kerjasama antara gereja-gereja Methodis di Amerika.  Pertemuan gereja-gereja Baptis pada tahun 1905 dibentuk Baptis World Alliance. Walaupun BWA menyetujui gerakan oikumenis dan menganjurkan anggota-anggotanya untuk terlibat di dalamnya, soal baptisan menjadi persoalan besar, sebab baptisan orang percaya (dewasa) sebagai satu-satunya baptisan yang sah.
Gereja Lutheran pada abd ke-19 telah mengadakan konperensi bersama, baru pada tahun 1947 nama Lutheran World Convention dirubah menjadi Lutheran World Federationn (LWF). Anggota-anggotanya tetap gereja-gereja Lutheran, tetapi tujuan ikut serta dalam gerakan oikumenis, lebih khusus menghadirkan unsure konfesional dalam DGD.  Berbeda dengan DGD, oikumene konfesional dianggap lebih utama dari oikumene geografis, sesuatu yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan.

Oikumene di Asia
Pilon menyebut empat hal hal yang menentukan perlembangan oikumene di Asia: 1) Nasionalisme di Asia sesudah Jepang mengalahkan Rusia pada tahun 1905. Timbul perasaan bahwa orang Asia tidak perlu diatur oleh orang-orang Barat, sebab mereka dapat mengurus perkara-perkara mereka sendiri. 2) Pengaruh pekabaran Injil. 3) Pengaruh agama-agama lain. Gereja-gereja Asia harus menghadapi orang-orang yang bukan Kristen. 4) Pengaruh Alkitab (Yoh 17:21).
Setelah John Mott mengunjungi Asia, didirikanlah dewan-dewan pekabaran Injil nasional di India, Tiongkok dan Jepang. Di India dibentuk Church South of India (1947). Konperensi kedua IMC diadakan di Prapat, pada Maret 1957.  Di sana diputuskan untuk membentuk suatu dewan, East Asia Christian Conference (EACC). Pada tahun 1973 nama EACC dirubah menjadi Christian Conference of Asia (CCA) dan pada tahun berikutnya dibuka kantor CCA di Singapura. Ada panitia untuk Inter Church Aid (Perkara-perkara International untuk region Asia, gereja dan masyarakat), Urban and Rural Mission (Kerjasama dan pertukaran tenaga di bidang pekabaran Injil, kaum awam, literature dan komunikasi masa).

Oikumene di Indonesia
T. B. Simatupang mengatakan ada  lima jenis pengaruh yang nyata dalam sejarah pembentukan DGI, yaitu: 1) Alkitab (Yoh 17:21) dan pengakuan iman; 2) nasionalisme di Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia kedua; 3) pengalaman pemuda Kristen dalam Perhimpunan Mahasiswa-mahasiswa Kristen dan pada Sekolah Tehologia Tinggi; 4) pengalaman pada masa Jepang; 5) pengaruh gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh tokoh-tokoh di kalangan pekabaran Injil.
Usaha kerjasama di kalangan pekabaran Injil mulai di Indonesia dengan pembentukan Zendingconsulaat (Perwakilan Pekabaran Injil) pada tahun 1906. Doronganyang lebih langsung untuk gerakan oikumenis di Indonesia yang bermuara pada pembentukan DGI pada tahun 1950. Tujuan DGI adalah pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia, termasuk bentuknya. Namun, jalan menuju keesaan itu sulit. Berbagai faktor non-teologis begitu berpengaruh sehingga persoalan keesaan gereja perlu ditunda.  Pada tahun 1976 ditulis suatu konsep oikumenis bahwa keesaan seharusnya keesaan dalam kepelbagaian, secara konkrit federasi. Pada Sidang Raya X di Ambon akhirnya ditetapkan Piagam Saling Mengakui dan Menerima dan Pemahaman Bersama Iman Kristen, akan tetapi gereja yang esa belum terwujud.

Gereja Katolik Roma dan Gerakan Oikumenis
Sebelum kepausan Paus Yohanes XXIII,  sikap Gereja Katolik Roma terhadap gerakan oikumenis ditentukan oleh pemahaman bahwa gereja yang benar seperti yang dimaksud dalam Pengakuan Iman hanya gereja yang dipimpin oleh Paus sebagai wakil Kristus. Telah terjadi keesaan, oleh sebab itu tidak perlu suatu gerakan oikumenis yang di luar Roma. Pada konperensi Edinburg lima orang Katolik hadir, tetapi ditekankan mereka tidak mewakili gereja mereka.
Itu tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada perhatian untuk gerakan oikumenis dari pihak Katolik Roma. Telah  dilakukan upaya percakapan, tetapi gereja Ortodoks Timur dan gereja Anglikan menolak kepemimpinan Paus. Paus Yohanes XXII (1958-1963) memimpin Katolik-Roma pada suatu zaman baru. Pada tahun 1959 ia mengundang suatu konsili oikumenis (seluruh gereja Katolik) untuk membicarakan masa depan gereja. Pada saat Konsili Vatikanum II, Paus berpendapat bahwa pembaharuan gereja tidak mungkin kalau “saudara-saudara yang terpisah” tidak dilibatkan, sehingga pada tahun 1960 didirikan sekretariat untuk memajukan keesaan Kristen. Dokumen yang terpenting untuk sikap Gereja Katolik-Roma terhadap gereja-gereja lain adalah dekrit de oecumenismo “Unitatis redintegratio” (pemulihan kembali keesaan) yang mendobrak isolemen Roma dan mengajak orang-orang Katolik untuk bekerjasama dengan “saudara-saudara terpisah”. Sejak Paus XXII, ada hubungan Gereja Katolik Roma dengan DGD, LWF, WMC, dan hubungan bilateral dengan gereja-gereja Timur, serta Anglikan. Untuk mempererat kerjasama, mereka berkumpul dua kali setahun melalui Kelompok Kerjasama antara Gereja Katolik-Roma dan DGD. Akan tetapi, Gereja Katolik-Roma hanya ingin bekerjasama dengan DGD tetapi jalan untuk mencari bentuk keanggotaan menemuui jalan buntu. Setelah  Paus Yohanes I dan II naik takhta,  mereka berpegang teguh kepada ajaran resmi Katolik sehingga semakin sulit  untuk mewujudkan kerjasama dengan gereja-gereja lain dalam bentuk organisasi yang konkrit.

Dekrit Konsili Vatikan II “De Ecumenismo”
Dalam konsili Vatikan II (1961) dikeluarkan dekrit yang berisi sikap Katolik-Roma terhadap gerakan oikumenis yang sudah ada di luar. Dijelaskan bahwa gereja yang esa yang didirikan oleh Kristus, sejak zaman permulaan mengalami perpecahan-perpecahan. Baik pihak Katolik maupun bukan Katolik bersalah dalam perpecahan-perpecahan ini. Ditegaskan pula bahwa mereka yang hidup terpisah dari Roma melalui baptisan berada dalam tubuh Kristus, sehingga mereka patut disebut orang Kristen dan patut diterima oleh orang-orang Katolik sebagai saudara-saudara dalam Kristus.
Selain itu bahwa keterlibatan Gereja Katolik-Roma dalam gerakan oikumenis khususnya terwujud melalui dialog dan doa bersama. Usaha oikumenis dilihat sebagai perkembangan persekutuan yang secara azasi sudah ada. ibadah bersama diperbolehkan tetapi tidak dengan perayaan sakramen ekaristi. Orang-orang Kristen dianjurkan untuk melibatkan diri dengan gerakan oikumenis dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, khususnya untuk mencari bersama-sama dasar Kristen untuk menghadapi tantangan-tantangan zaman modern.

Baptism, Eucharist an Ministry
Baptism, Eucharist an Ministry (BEM) sejak konperensi pertama di Lausanne tahun 1927 telah menginventarisasikan apa yang diterima oleh masing-masing gereja mengenai iman dan tata gereja, di mana persamaan dan di mana perbedaan. Mereka memiliki konsep yang dimuat dalam buku Ecumenical Perspectives on BEM : Konsep mengenai Perjamuan, baptisan, jabatan,  dan juga konsep mengenai liturgi yang merupakan langkah maju yang penting kea rah keesaan melalui ibadah bersama.
Menurut mereka melalui baptisan orang mengambil bagian dari kematian Kristus, tanda pertobatan, pengampunan dan penyucian. BEM tidak mempersoalkan cara merayakan baptisan (percik atau selam). Perjamuan berdasarkan Perjanjian Baru. Arti perjamuan adalah mengucap syukur kepada Bapa, peringatan akan Kristus, dan seruan akan Roh Kudus.
Lima Dokumen Keesaan PGI
Sesudah Sidang Raya IX  di Tomohon (1980) DGI merumuskan lima dokumen yang harus menjadi pegangan untuk gereja yang esa yang hendak dibentuk di Indonesia pada Sidang Raya X di Ambon (1984). Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia, yaitu:
1.      Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) 1984-1989; semacam GBHN untuk PGI; di dalamnya ditetapkan apa yang harus dikerjakan oleh gereja-gerja selama periode 1984-1989;
2.      Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK); yaitu suatu pengakuan iman yang menggantikan pemahaman bersama dari tahun 1967 (yang tidak pernah diterima secara resmi);
3.      Piagama Saling Mengakui dan Salinng Menerima (PSMSM) di antara gereja-gereja anggota PGI, yang mengatur saling mengakui secara praktis dan tidak mendalami masalah-masalah teologis.
4.      Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, yang menggantikan tata dasar yang lama, mencantumkan nama yang baru untuk dewan gereja-gereja di Indonesia dan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5.      Dokumen “Menuju kemandirian teologi, daya dan dana”; secara khusus membahas masalah pendewasaan gereja-gereja di Indonesia, supaya bebas dari gereja-gereja luar negeri dalam soal pembiayaan dan teologi, serta mempergunakan dan mengembangkan daya anggota-anggota gereja sendiri.

Pemahaman Mengenai Keesaan Gereja
Tujuan gerakan oikumenis adalah keesaan gereja. Akan tetapi keesaan yang bagaimana yang hendak dicapai? Menjadi persoalan yang sering terjadi adalah bagaimana keesaan gereja itu diwujudkan. Gerakan Faith and Order menciptakan “keesaan gereja yang kelihatan secara lengkap”. Tidak hanya menyangkut ajaran gereja, tetapi juga kehidupan beribadah dan tata gereja. Namun, disadari bahwa keesaan Nampak secara sempurna tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu panita untuk persiapan konperensi Faith and Order yang kedua di Edinburg (1937) menguraikan tiga model keesaan, yaitu: 1) aksi bersama, 2) saling mengakui dan merayakan Perjamuan Kudus bersama, dan 3) mengusahakan keesaan gereja yang dipahami sebagai keesaan dalam keanekaragaman sebagaimana terdapat dalam satu tubuh (bdk 1 Kor 12). Setiap anggota tubuh memiliki ciri yang berbeda, tetapi tetap merasa diri anggota seluruh tubuh, sedangkan keesaan tubuh tidak menghalangi keanekaragaman dalam karunia-karunia yang dimiliki masing-masing anggota.

Evangelical-Ecumenical: Sekitar Church Growth
Gerakan “evangelical” atau Injili lahir di Inggris yang dipelopori oleh John Wesley. Mereka menolak kecenderungan kaum Anglikan untuk mengarah ke katolisme. Dengan demikian “evangelical” menunjuk kepada paham Protestan yang ortodoks yang disertai keinginan untuk mengadakan evangelisasi dan pekabaran Injil. Setelah pengabungan IMC dan DGD dan setelah konperensi pekabaran Injil sedunia di Bangkok (1972-1973), terjadi perbedaan pemahaman mengenai pekabaran Injil. Kaum evangelical menekankan pertobatan sebagai tujuan pekabaran Injil, sedangkan pelayanan sosial cenderung diabaikan karena dianggap bukan sebagai tugas seorang pekabaran Injil. Namun, pada konperensi pekabran Injil sedunia di San Antonio terlihat bahwa kedua kelompok telah saling mendekati.
Menurut McGavran dalam The Conciliar-Evangelical Debate, mengemukakan pemahamannya mengenai pekabaran Injil. Menurutnya, pekabaran Injil adalah memenagkan sebanayk mungkin orang bagi Kristus, dan membawa mereka masuk dalam gereja-gereja. Hal-hal organisatoris yang menyangkut gereja tidak penting, asal orang masuk. Memenangkan adalah membaptis. Kaum ekumenikal menekankan hal yang berbeda dari evangelical, seperti pelayanan sosial, perubahan struktur-struktur yang tidak adil, kehadiran Kristus untuk memberikan tanda-tanda shalom, tanpa menyangkal pentingnya orang menerima Kristus, memberi diri dibaptis, menjadi anggota gereja.

Teologi Asia
Teologi Asia sama sperti teologi Afrika Latin, yang merupakan teologi yang oikumenis. “Teologi oikumenis” yang dimaksudkan di sini adalah teologi yang lahir dari pertemuan oikumenis antara orang-orang Kristen dari gereja-gereja dan latar belakang yang berbeda. Ini merupakan usaha untuk meniadakan corak Barat yang berabad-abad lamanya melekat pada teologi Kristen, dengan mencoba merumuskan suatu pemahaman yang relevan untuk konteks kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan Eropa Barat dan Amerika Utara.
Di India diusahakan untuk mengembangkan teologi sendiri. Diupayakan untuk menjelaskan iman Kristen kepada orang-orang yang berlatarbelakang Hindu dalam istilah-istilah yang tidak asing untuk mereka. Di Korea teologi Minjung, merupakan upaya untuk merumuskan suatu teologi yang memperhatikan pergumulan rakyat jelata yang sudah lama tertindas dan sekarang hidup dalam masyarakat yang mengalami pengaruh Barat melalui perang dan industrialisasi. Di Jepang Kanzo Uchimura mencari bentuk  kekkristenan yang bebas dari pegaruh Barat dengan mendirikan Non-Chruch Movement, suatu gerakan orang-orang Kristen yang tiidak mau menjadi anggota salah satu gereja yang dibawa dari Barat. Dalam iman, mereka mencari hubungan antara iman Kristen dan nilai-nilai kebudayaan Jepang.  Di Indonesia pokok-pokok yang mengundang refleksi teologis adalah peranan gereja dalam pembangunan nasional, hubungan iman Kristen dengan Pancasila sebagai ideologi negara, dan hubungan gereja dengan kebudayaan.
Dalam karangan “The Critical Asian Principle”, yang dimuat oleh D.J. Elwood, menunjuk tujuh hal yang menentukan konteks teologi Asia, yaitu: 1) keanekaragaman ras, bangsa, kebudayaan, dan agama; 2) penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat pada masa lampau; 3) pembangunan nasional serta modernisasi yang diusahakan pada masa sekarng; 4) kebutuhan untuk mencari identitas diri yang baru pada zaman modern; 5) kehadiran agama-agama besar (Hindu, Budha, Islam); 6) pencarian tatanan sosial yang baru; 7) kenyataan bahwa pada umumnya umat Kristen adalah kaum minoritas. Ketujuh hal ini harus diperhatikan dalam perumusan teologi Asia. 

Dialog Antar Umat Beragama
“Dialog antar umat beragama” menunjuk kepada pertemuan serta percakapan antara orang-orang yang berbeda agama yang diadakan untuk saling mengenal dan saling belajar mengenai agama yang diyakini. Antara dialog dan pekabaran Injil terdapat hubungan erat. Verkuyl membedakan tiga bentuk dialog. Yang  pertama adalah dialog untuk memajukan saling pengertian antara orang-orang yang beragama lain. Kedua adalah dialog guna mencapai kerjasama untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama, seperti masalah penderitaan manusiawi, ketidakadilan dan hal-hal yang mengancam perdamaian dunia.  Ketiga adalah dialog dalam rangka pemberitaan Injil. Orang-orang dari agama yang berbeda masing-masing memberi kesaksian tentang keyakinan mereka dan mencari kebenaran yang hendak dinyatakan Allah kepada manusia.
Gagasan untuk mengadakan dialog dengan agama lain muncul sejak permulaan gerakan oikumenis pada konperensi di Edinburg (1910), konperensi IMC di Yerusalem (1928) dan Tambaran (1938). Garis-garis petunjuk untuk dialog ditekankan bahwa manusia diciptakan Allah untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan sesama manusia. Alasan lain untuk mengadakan dialog adalah  bahwa manusia di dunia modern tidak mau bertemu dengan sesama yang beragama lain.
Persoalan-persoalan teologis yang berkaitan dengan dialog, pertama-tama dialog teologis menyangkut orang-orang bukan sistem-sistem agama dan ideologis. Selain itu dialog hanya dapat didekati dengan penyesalan (karena sering gereja bertindak seakan-akan mempunyai monopoli atas kebenaran Allah), rendah hati, gembira dan tulus iklas.

By Noberth Elifas Tob

PERAN STRATEGIS PEMIMPIN KRISTEN DALAM GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam sejarah perkembangan gereja  sudah terjadi perpecahan-perpecahan yang melahirkan banyak gereja. Namun perpecahan itu diusahakan menjadi satu kembali seperti persatuan yang telah di doakan oleh Kristus dalam Yohanes 17:21. Timbulnya pemahaman dan perbedaan menyebabkan munculnya aliran-aliran dalam tubuh gereja yang karena perpecahan itu disadari bahwa pentingnya kesatuan didalam gereja–gereja Kristus. Untuk itulah kita akan membahas bagaimana gerakan oikumene dalam sejarah perkembangann gereja. Dan semoga tulisan ini dapat membantu kita dalam memperluas wawasan terlebih dalam pelayanan kita nantinya.

BAB II
OIKUMENE DAN PERKEMBANGANNYA
Pengertian Oikumene
            Oikumene diturunkan dari kata oikumene yang berarti menyangkut  wilayah yang dihuni manusia atau seluruh bagian dunia yang berkebudayaan.[1]  Oikumene adalah kata Bahasa Yunani yaitu participium praesentis passivum fenium  dari kata oikeo yang berarti tinggal, berdiam atau juga mendiami. Oleh sebab itu arti harafiah kata oikumenis  adalah yang didiami.[2] Kata “Oikumene” merupakan padanan (sinonim) dari kata lain yang juga dipakai sebagai ungkapan dalam Gereja, gerakan oikumene  selalu dihubungkan dengan gerakan untuk mencari keutuhan, gerakan untuk mengumpulkan kembali serta menjaga keutuhan/integritas gereja, dan terutama merupakan panggilan untuk menyelenggarakan kehidupan  sejahtera bagi umat manusia maupun seluruh ciptaan.[3]
Perkembangan Gerakan Oikumene
Dalam perkembangan gerakan oikumenes terlihat semakin muncul usaha-usaha yang dilakukan gereja untuk menyatukan dari kepelbagaian tersebut.  Baik itu dikalangan perkembangan penginjilan dalam kaitan gerakan oikumene. Pada tahu 1910 dikota Edinburg, Skotlandia, diadakan suatu konfrensi pekabaran Injil se-dunia. Konfrensi ini menjadi permulaan Gerakan penyatuan antara Gereja-Gereja Protestan. Gerakan ini disebut gerakan Oikumene yang pertama dipakai untuk seluruh dunia yang dihuni dan dalam sejarah Gereja dipakai untuk menunjuk kepada se-Dunia. Bahasan yang pertama adalah mengenai Faith and Order.[4] Tujuan dari Faith and Order ini adalah mancari jalan menuju keesaan gereja. Dan Konsili tersebut harus bersifat gerejani. Artinya para wakil harus benar-benar  resmi wakil dari setiap Gereja.[5]  Gerakan ini timbul diantara orang Amerika  dan orang Anglikan. Disitu Gereja-Gereja ynag sudah berabad-abad lamanya terpecah berai bertemu dan kembali mempelajari iman  dan suasana rohani masing-masing.[6]
Pada perkembangan berikutnya muncul gerakan Life and Work (kehidupan dan kegiatan) untuk mengatasi ketidak adilan social ekonomi, pelopor pergerakan Life and work adalah Nathan Sodarblom (1866-1931) adalah seorang pendeta Lutheran di Swedia. Ketika perang dunia pertama 1914-1918 terpecah dia menganggap suatu peristiwa itu sebagai suatu kegagalan gereja untuk memperdamaikan bangsa-bangsa sehingga ia mulai mendorong gereja-gereja untuk mencari perdamaian antara Negara-negara yang berperang. Usaha ini disambut baik oleh gereja-gereja dari Negara yang netral. Adapun pokok bahasan dari life and work adalah
a.       Bahwa keesaan ini bertolak dari salib Kristus yang merupakan titik bertemu untuk semua orang Kristen dan titik tolak untuk semua usaha untuk mewujudkan keesaan yang nyata.
b.      Bahwa keesaan harus dipahami sebagai keesaan dalam keanekaragaman.
c.       Bahwa usaha untuk merealisasikan keesaan harus diberi bentuk aksi dan kesaksian bersama.
Akibat dari semua puncak dari segala usaha oikumenis pada abad ke-19, konferensi itu merupaka titik tolak untuk gerakan oikumenis pada jaman kita ini. Sehingga kedua badan ini yaitu Faith and Order juga Life and Work bergabung pada tahun 1948 menjadi dewan gereja-gereja sedunia yang berpusat di Jenewa.  Sehingga kegiatan dari kedua badan tersebut diteruskan oleh DGD.
Gerakan Oikumene di Indonesia
Selama abad ke-17 dan ke-18 semua orang Kristen protestan di wilayah Indonesia termasuk satu badan gereja yaitu Gereformed yang dipimpin oleh majelis jemaat di Batavia. Masuknya lembaga Pekabaran Injil 1815 membawa perubahan hingga Kristen Protestan di Indonesia dibagi mejandi dua kelompok.[7] Akar-akar gerakan oikumenis terutama terdapat dalam pekabaran Injil pada abad ke-19. Pada abad pekabaran injil terjadi banyak usaha untuk menyebarkan iman Kristen sehingga dirasa perlu untuk mengkordinasi pekerjaan pekabaran Injil. Demikianlah didirikan dewan-dewan pekabaran Injil pada tingkat nasional dan diadakan konferensi untuk membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan iman.[8]
Selama abad ke-19 upaya mewujudkan keesaan Kristen dijalankan orang Belanda. Upaya itu bertujuan untuk mendekatkan orang-orang Kristen dan pada tahun 1855 orang Kristen anggota GPI  mengelola majalah bulanan Belanda (De Opwehker). Pada abad ke-20 terdapat pula kegiatan dan partisipasi orang Indonesia. Yang paling berperan disini adalah para pemuda dan mahasiswa Kristen yaitu dengan mendirikan CSV Op Java, semangat mereka dikobarkan oleh Jhon Mott yang merupakan tokoh gerakan oikumenis sedunia. Dilain pihak didirikan CJVF dan gerakan nasional. Dalam kehidupan jemaat pada tahun 1940 ada upaya untuk mendekatkan jemaat-jemaat (gereja-gereja) satu sama lain, dan dimulai oleh kalangan suku Tionghoa.
Ada banyak hal yang menjadi sebab digalakkannya gerakan oikumene di Indonesia. Dalam buku 25 tahun DGI Dr. T.B. Simatupang menunjuk kepada lima jenis pengaruh yang nyata dalam sejarah pembentukan DGI, yaitu: 1) Alkitab (Yoh 17:21) dan pengakuan iman; 2) Nasionalisme di Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia Kedua; 3) Pengalaman pemuda Krsiten dalam perhimpunan mahasiswa-mahasiswa Kristen dan pada Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta; 4) Pengalaman pada masa Jepang; 5) Pengaruh gerakan oimunenis dari luar (IMC,WSCF, DGD) dan pengaruh tokoh-tokoh di kalangan pekabaran Injil.

Sikap dan Pandangan Terhadap Gerakan Oikumenis
Secara nyata gereja-gereja harus dapat mencapai keesaan gereja tersebut. Dengan lahirnya gerakan oikumenis banyak denominasi  gereja yang mendukung. Walaupun demikian ada juga  gereja yang akibat dari upaya gerakan oikumenis tidak mau bergabung yaitu Roma Katolik, salah satu cara Roma Katolik untuk mencapai kesatuan tersebut dengan menindas setiap kelompok Kristen, Calvin menunjuk jalan lain, kesatuan hanya dapat diperoleh kalau gereja mau tahkluk kepada kekuasaan Alkitab, padahal ukuran masing-masing gereja mempunyai tafsiran sendiri. Gereja Roma tidak dapat mengambil bagian dalam perkumpulan-perkumpulan oikumenis dan orang-orang Katolik tidak diperbolekan untuk mendukung atau membantu usaha-usaha demikian.
Andaikata mereka berbuat begitu maka mereka menyetujui suatu agama Kristen yang palsu yang asing bagi gereja Kristus yang satu itu. Mereka tetap berpegang, kesatuan orang-orang Kristen terwujud jika mereka yang terpisah dari padanya (murtad) kembali kepada gereja Kristus yang benar sebab tak seorangpun yang dapat tinggal di gereja Kristus tanpa mengakui kekuasaan Petrus dan penggantinya yang sah.

BAB III
PERAN STRATEGIS PEMIMPIN KRISTEN

Faktor Penghambat Oikumene
PGI yang sebelumnya DGI telah mempunyai tujuan yang pasti untuk mewujudkan kesatuan dan keesaan gereja di Indonesia. tetapi tujuan yang mulia tersebut hingga sekarang belum tercapai. Apa yang menjadi kendalanya? Menurut Dr. K.A.M. Jusufroni hal itu terjadi karena mereka berangkat dari pola pikir organisasi yang diutamakan, bukan spirit tubuh Kristus. Gereja yang kudus dan am itu bukan berarti ada satu organisasi gereja, atau badan koordinasi penampungan dari gereja-gereja.[9] Sebenarnya jemaat sudah tidak tidak mempedulikan keanekaragaman itu, hanya saja pendeta-pendeta dan pemimpin-pemimpin organisasi yang masih terbelenggu dengan pembatasan itu. Spiritnya tidak ada. Maka perlu ada khotbah-khotbah yang menekankan spirit kesatuan.
Kita tahu bahwa sebagian besar gereja yang ada di Indonesia berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara yang berasal dari gereja-gereja yang sudah “berselisih” karena perbedaan penafsiran dan doktrin. Akibatnya hal tersebut mengakibatkan pengkotak-kotakan gereja yang mereka dirikan di Nusantara. kita sangat dipengaruhi oleh teologia-teologia dari luar sehingga falsafah hidup bangsa kita tidak dihayati, yaitu sila ketiga dari dasar negara kita, Persatuan Indonesia.[10]
Untuk mempersatukan gereja-gereja memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak mungkin. Kesatuan yang dimaksud di sini adalah kesatuan tubuh Kristus yang menghargai adanya keberagaman atau keanekaragaman di dalam anggota-anggota tubuh itu sendiri. saling menghargai adanya anggota-anggota tubuh Kristus yang memiliki pengalaman, karunia, penghayatan iman, maupun latar belakang yang berbeda-beda.
            Bapak Soelarso Soepater bahwa penyebab perbedaan-perbedaan dalam denominasi itu pada intinya berasal dari perbedaan penafsiran atau doktrin. Lalu beliau mengatakan bahwa kalau usaha-usaha kebersatuan yang dilakukan, kalau hanya seperti paskah atau natal bersama, maka dasar menuju kesatuan gereja tersebut sebagai sesuatu yang rapuh.
            Soal penafsiran memang tidak bisa disatukan karena tetap akan berbeda. Tetapi ajaran tentang Yesus adalah Tuhan, maka itu harus satu. Yesus mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, Yesus adalah Allah yang menjelma sebagai manusia. Itu harus satu ajaran. 
            Pada kasus yang lain, perpecahan sering terjadi karena soal materi. jarang sekali perpecahan terjadi karena mempertahankan doktrin atau pengajaran masing-masing seperti pada zaman Saleto dan Kalvin, ataupun Martin Luter. Para pemimpin merasa takut kehilangan pendukung atau anggota. Contoh: banyak pemimpin begitu khawatir akan kehadiran sebuah Persekutuan Doa karena asumsi mereka akan timbulnya sebuah gereja baru. Sebenarnya anggota jemaat yang hadir tidak mempermasalahakan dari mana asal mereka.  Yang penting mereka bisa bersama-sama bersekutu dan menerima Firman Tuhan yang dapat menguatkan iman mereka.

Perubahan Paradigma
            Pemimpin-pemimpin perlu berwawasan oikumene sebagai alternatif upaya penyatuan gereja-gereja. Y. Congar mengemukakan empat unsur yang termuat dalam oikumenisme:[11]
a)      Unsur pertama adalah kembali ke sumber-sumber. Hal ini berarti menggali Alkitab, selain itu ajaran Bapa-bapa Gereja dan liturgi, yang berpusat pada misteri-misteri paskah.
b)      Unsur kedua adalah dialog untuk memahami posisi-posisi yang berbeda.
c)      Unsur ketiga adalah sejarah. Sejarah sangat diperlukan sebagai bantuan untuk membedakan mana yang absolut dan yang relatif.
d)     Unsur keempat adalah Spiritual. Karya oikumenis menuntut pertobatan yang mendalam dari hati manusia, yang meliputi seluruh hidup dan kehidupan kekristenannya.
Lebih lanjut pemahaman selanjutnya oleh para pemimpin Kristen dalam oikummene dengan memahami cirri pokok keesaan gereja di Indonesia. Untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia dalam wadah PGI maka lahirlah Lima Ciri Pokok Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia:[12]
a)      Satu pengakuan iman. Percaya akan Tuhan Allah yang Esa, yang telah menciptakan langit dan bumi serta memeliharanya, Ia menciptakan manusia menurut gambar/citra-Nya. Allah telah menyelamatkan manusia melalui penebusan Yesus Kristus. Roh Kudus yang memimpin umat dan berada di tengah Gereja, serta mengakui bahwa Alkitab adalah pernyataan Allah kepada manusia yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[13]
b)      Satu wadah bersama
c)      Satu tugas panggilan dalam satu wilayah bersama
d)     Saling mengakui dan saling menerima. Di antaranya pengakuan keanggotaan gereja dan penerimaan/perpindahan keanggotaan, pelayanan diakonia, pemberitaan firman berdasarkan Alkitab, pekabaran Injil, baptisan kudus, perjamuan kudus, penggembalaan, disiplin gerejawi, pemberkatan perkawinan gerejawi, pelayanan/pejabat gerejawi, serta penerimaan dan pengakuan penguburan/pengabuan.[14] 
e)      Saling menopang        

Langkah-Langkah Stretegis Pemimpin Kristen
Seorang pemimpin Kristen tidak boleh tinggal diam, merasa eksklusif, merasa cukup puas, nyaman, merasa paling benar, dan bangga yang berlebihan  dengan gerejanya, karena yang sempurna hanya Tuhan Yesus Kristus. Dogma atau pengajaran-pengajaran yang khas dari gereja-gereja hanyalah sarana membangun iman. Apa yang harus dilakukan seorang pemimpin Kristen? Ada beberapa peran strategis pemimpin Kristen dalam upaya oikumene yaitu:[15]
a.       Berkooperasi di dalam melayani pekerjaan Tuhan. Hal ini bertujuan sebagai rasa kebersamaan anggota-anggota tubuh Krsitus yang akan mengikat, merubah paradigma.
b.      Berkoordinasi apabila satu sama lain saling membantu. Koordinasi dalam pelayanan antar gereja sebagai bentuk mengasihi sesama, saling membantu untuk meyebarkan Injil adalah suatu hal yang mulia. Seseorang tidak mungkin dapat melakukan banyak hal jika tidak ada kerjasama. Masing-masing gereja memliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu bekerjasam akan lebih baik untuk saling melengkapi.
c.       Melakukan konfirmasi, sehingga tidak timbul prasangka yang buruk terhadap satu sama lain. upaya ini dapat dilakukan melalui pelatihan sehingga hamba-hamba Tuhan dapat mengenali ajaran-ajaran gereja yang lain sehiungga membina hubungan yang harmonis, tidak kaget melihat perbedaan.[16] Karena banyaknya doktrin dan pemahaman tentang gereja masing-masing, maka seorang pemimpin Kristen perlu berupaya untuk mengetahui dogma gereja lain agar tidka menimbulkan suatu prasangka buruk.
d.      Berkonsultasi untuk mengambil langkah yang baru yang akhirnya dapat menopang satu dengan yang lain. 

BAB IV
KESIMPULAN
Secara teologis, Allah menghendaki sebuah kesatuan dari gereja-gereja Tuhan yang ada. Denominasi-denominasi yang begitu banyak seolah-olah telah membawa kesatuan gereja ke jurang pemisah yang tidak mungkin menyatu. Banyak hal yang menjadi penyebab timbulnya ketidakesaan ini antara lain masalah doktrin, materi, dan kepentingan. Namun para pemimpin gereja tidak boleh terjebak dalam pesimisme tetapi perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan pemahaman bahwa kita bagian dari anggota tubuh Kristus, dan kita menyembah satu Tuhan yaitu Tuhan Yesus Kristus.

by Noberth Elifas Tob



[1]A. Heuken S. J, Ensiklopedia Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka, 1989), 284
[2] Christian De Jong, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta : BPK-GM, 1996),  xvii
[3] J.B Banawiratmo SJ, Tempat dan Arah Gerakan Oikemenis (Jakarta: BPK-GM, 1994), 30
[4]Christian de Jong,  Jan  S.Aritonang, Apa dan Bagaiman Gereja (Jakarta : BPK-GM, 2003), 51
[5]Christian  de Jong  Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1996), 19-20
[6]I.H Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 340
[7]J. Van Den End,  dan S. J. Weitjens,  Ragi Carita II (Jakarta: BPK-GM, 2008), 381
[8]Christian De Jonge, Pembingbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM,  2006), 87
[9]Jusufroni Berbicara tentang Kesatuan Gereja (Yogyakarta:  Yayasan ANDI, 1993), 21 
[10]Ibid, 25
[11]J.B. Banawiratmo. dkk., Tempat dan Arah Gerakan Oikumenis  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 9-70
[12] Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 14
[13]Ibid, 80-91
[14]Ibid, 99-108
[15]Jusuf Roni, One Body of  Christ (Jakarta: Jusuf Roni Center, 2012), 22
[16]Ibid, 26