BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
sejarah perkembangan gereja sudah
terjadi perpecahan-perpecahan yang melahirkan banyak gereja. Namun perpecahan
itu diusahakan menjadi satu kembali seperti persatuan yang telah di doakan oleh
Kristus dalam Yohanes 17:21. Timbulnya pemahaman dan perbedaan menyebabkan
munculnya aliran-aliran dalam tubuh gereja yang karena perpecahan itu disadari
bahwa pentingnya kesatuan didalam gereja–gereja Kristus. Untuk itulah kita akan
membahas bagaimana gerakan oikumene dalam sejarah perkembangann gereja. Dan
semoga tulisan ini dapat membantu kita dalam memperluas wawasan terlebih dalam
pelayanan kita nantinya.
BAB II
OIKUMENE DAN PERKEMBANGANNYA
Pengertian Oikumene
Oikumene
diturunkan dari kata oikumene yang berarti menyangkut wilayah yang dihuni manusia atau seluruh
bagian dunia yang berkebudayaan.[1] Oikumene adalah kata Bahasa Yunani yaitu participium praesentis passivum fenium dari kata oikeo
yang berarti tinggal, berdiam atau juga mendiami. Oleh sebab itu arti harafiah
kata oikumenis adalah yang didiami.[2]
Kata “Oikumene” merupakan padanan (sinonim) dari kata lain yang juga dipakai
sebagai ungkapan dalam Gereja, gerakan oikumene
selalu dihubungkan dengan gerakan untuk mencari keutuhan, gerakan untuk
mengumpulkan kembali serta menjaga keutuhan/integritas gereja, dan terutama
merupakan panggilan untuk menyelenggarakan kehidupan sejahtera bagi umat manusia maupun seluruh
ciptaan.[3]
Perkembangan Gerakan Oikumene
Dalam perkembangan gerakan oikumenes
terlihat semakin muncul usaha-usaha yang dilakukan gereja untuk menyatukan dari
kepelbagaian tersebut. Baik itu
dikalangan perkembangan penginjilan dalam kaitan gerakan oikumene. Pada tahu
1910 dikota Edinburg, Skotlandia, diadakan suatu konfrensi pekabaran Injil se-dunia.
Konfrensi ini menjadi permulaan Gerakan penyatuan antara Gereja-Gereja
Protestan. Gerakan ini disebut gerakan Oikumene yang pertama dipakai untuk
seluruh dunia yang dihuni dan dalam sejarah Gereja dipakai untuk menunjuk
kepada se-Dunia. Bahasan yang pertama adalah mengenai Faith and Order.[4] Tujuan dari Faith and Order ini adalah mancari jalan menuju keesaan gereja. Dan
Konsili tersebut harus bersifat gerejani. Artinya para wakil harus
benar-benar resmi wakil dari setiap
Gereja.[5] Gerakan ini timbul diantara orang Amerika dan orang Anglikan. Disitu Gereja-Gereja ynag
sudah berabad-abad lamanya terpecah berai bertemu dan kembali mempelajari
iman dan suasana rohani masing-masing.[6]
Pada perkembangan berikutnya muncul
gerakan Life and Work (kehidupan dan
kegiatan) untuk mengatasi ketidak adilan social ekonomi, pelopor pergerakan Life and work adalah Nathan Sodarblom
(1866-1931) adalah seorang pendeta Lutheran di Swedia. Ketika perang dunia
pertama 1914-1918 terpecah dia menganggap suatu peristiwa itu sebagai suatu
kegagalan gereja untuk memperdamaikan bangsa-bangsa sehingga ia mulai mendorong
gereja-gereja untuk mencari perdamaian antara Negara-negara yang berperang.
Usaha ini disambut baik oleh gereja-gereja dari Negara yang netral. Adapun
pokok bahasan dari life and work
adalah
a.
Bahwa
keesaan ini bertolak dari salib Kristus yang merupakan titik bertemu untuk
semua orang Kristen dan titik tolak untuk semua usaha untuk mewujudkan keesaan
yang nyata.
b.
Bahwa
keesaan harus dipahami sebagai keesaan dalam keanekaragaman.
c.
Bahwa
usaha untuk merealisasikan keesaan harus diberi bentuk aksi dan kesaksian
bersama.
Akibat dari semua puncak
dari segala usaha oikumenis pada abad ke-19, konferensi itu merupaka titik
tolak untuk gerakan oikumenis pada jaman kita ini. Sehingga kedua badan ini
yaitu Faith and Order juga Life and Work bergabung pada tahun 1948
menjadi dewan gereja-gereja sedunia yang berpusat di Jenewa. Sehingga kegiatan dari kedua badan tersebut
diteruskan oleh DGD.
Gerakan Oikumene di Indonesia
Selama abad ke-17 dan ke-18 semua
orang Kristen protestan di wilayah Indonesia termasuk satu badan gereja yaitu Gereformed yang dipimpin oleh majelis
jemaat di Batavia. Masuknya lembaga Pekabaran Injil 1815 membawa perubahan
hingga Kristen Protestan di Indonesia dibagi mejandi dua kelompok.[7]
Akar-akar gerakan oikumenis terutama terdapat dalam pekabaran Injil pada abad
ke-19. Pada abad pekabaran injil terjadi banyak usaha untuk menyebarkan iman
Kristen sehingga dirasa perlu untuk mengkordinasi pekerjaan pekabaran Injil.
Demikianlah didirikan dewan-dewan pekabaran Injil pada tingkat nasional dan
diadakan konferensi untuk membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan iman.[8]
Selama abad ke-19 upaya mewujudkan
keesaan Kristen dijalankan orang Belanda. Upaya itu bertujuan untuk mendekatkan
orang-orang Kristen dan pada tahun 1855 orang Kristen anggota GPI mengelola majalah bulanan Belanda (De Opwehker). Pada abad ke-20 terdapat
pula kegiatan dan partisipasi orang Indonesia. Yang paling berperan disini
adalah para pemuda dan mahasiswa Kristen yaitu dengan mendirikan CSV Op Java,
semangat mereka dikobarkan oleh Jhon Mott yang merupakan tokoh gerakan
oikumenis sedunia. Dilain pihak didirikan CJVF dan gerakan nasional. Dalam
kehidupan jemaat pada tahun 1940 ada upaya untuk mendekatkan jemaat-jemaat
(gereja-gereja) satu sama lain, dan dimulai oleh kalangan suku Tionghoa.
Ada
banyak hal yang menjadi sebab digalakkannya gerakan oikumene di Indonesia.
Dalam buku 25 tahun DGI Dr. T.B. Simatupang menunjuk kepada lima jenis pengaruh
yang nyata dalam sejarah pembentukan DGI, yaitu: 1) Alkitab (Yoh 17:21) dan
pengakuan iman; 2) Nasionalisme di Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia
Kedua; 3) Pengalaman pemuda Krsiten dalam perhimpunan mahasiswa-mahasiswa
Kristen dan pada Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta; 4) Pengalaman pada masa
Jepang; 5) Pengaruh gerakan oimunenis dari luar (IMC,WSCF, DGD) dan pengaruh
tokoh-tokoh di kalangan pekabaran Injil.
Sikap dan Pandangan Terhadap Gerakan
Oikumenis
Secara nyata gereja-gereja harus
dapat mencapai keesaan gereja tersebut. Dengan lahirnya gerakan oikumenis
banyak denominasi gereja yang mendukung.
Walaupun demikian ada juga gereja yang
akibat dari upaya gerakan oikumenis tidak mau bergabung yaitu Roma Katolik,
salah satu cara Roma Katolik untuk mencapai kesatuan tersebut dengan menindas
setiap kelompok Kristen, Calvin menunjuk jalan lain, kesatuan hanya dapat
diperoleh kalau gereja mau tahkluk kepada kekuasaan Alkitab, padahal ukuran
masing-masing gereja mempunyai tafsiran sendiri. Gereja Roma tidak dapat
mengambil bagian dalam perkumpulan-perkumpulan oikumenis dan orang-orang
Katolik tidak diperbolekan untuk mendukung atau membantu usaha-usaha demikian.
Andaikata mereka berbuat begitu maka
mereka menyetujui suatu agama Kristen yang palsu yang asing bagi gereja Kristus
yang satu itu. Mereka tetap berpegang, kesatuan orang-orang Kristen terwujud
jika mereka yang terpisah dari padanya (murtad) kembali kepada gereja Kristus
yang benar sebab tak seorangpun yang dapat tinggal di gereja Kristus tanpa
mengakui kekuasaan Petrus dan penggantinya yang sah.
BAB III
PERAN STRATEGIS
PEMIMPIN KRISTEN
Faktor Penghambat
Oikumene
PGI yang
sebelumnya DGI telah mempunyai tujuan yang pasti untuk mewujudkan kesatuan dan
keesaan gereja di Indonesia. tetapi tujuan yang mulia tersebut hingga sekarang
belum tercapai. Apa yang menjadi kendalanya? Menurut Dr. K.A.M. Jusufroni hal
itu terjadi karena mereka berangkat dari pola pikir organisasi yang diutamakan,
bukan spirit tubuh Kristus. Gereja yang kudus dan am itu bukan berarti ada satu
organisasi gereja, atau badan koordinasi penampungan dari gereja-gereja.[9]
Sebenarnya jemaat sudah tidak tidak mempedulikan keanekaragaman itu, hanya saja
pendeta-pendeta dan pemimpin-pemimpin organisasi yang masih terbelenggu dengan
pembatasan itu. Spiritnya tidak ada. Maka perlu ada khotbah-khotbah yang
menekankan spirit kesatuan.
Kita tahu bahwa
sebagian besar gereja yang ada di Indonesia berasal dari Eropa Barat dan
Amerika Utara yang berasal dari gereja-gereja yang sudah “berselisih” karena
perbedaan penafsiran dan doktrin. Akibatnya hal tersebut mengakibatkan
pengkotak-kotakan gereja yang mereka dirikan di Nusantara. kita sangat
dipengaruhi oleh teologia-teologia dari luar sehingga falsafah hidup bangsa
kita tidak dihayati, yaitu sila ketiga dari dasar negara kita, Persatuan
Indonesia.[10]
Untuk
mempersatukan gereja-gereja memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak
mungkin. Kesatuan yang dimaksud di sini adalah kesatuan tubuh Kristus yang
menghargai adanya keberagaman atau keanekaragaman di dalam anggota-anggota
tubuh itu sendiri. saling menghargai adanya anggota-anggota tubuh Kristus yang
memiliki pengalaman, karunia, penghayatan iman, maupun latar belakang yang
berbeda-beda.
Bapak
Soelarso Soepater bahwa penyebab perbedaan-perbedaan dalam denominasi itu pada
intinya berasal dari perbedaan penafsiran atau doktrin. Lalu beliau mengatakan
bahwa kalau usaha-usaha kebersatuan yang dilakukan, kalau hanya seperti paskah
atau natal bersama, maka dasar menuju kesatuan gereja tersebut sebagai sesuatu
yang rapuh.
Soal
penafsiran memang tidak bisa disatukan karena tetap akan berbeda. Tetapi ajaran
tentang Yesus adalah Tuhan, maka itu harus satu. Yesus mati di kayu salib untuk
menebus dosa manusia, Yesus adalah Allah yang menjelma sebagai manusia. Itu
harus satu ajaran.
Pada
kasus yang lain, perpecahan sering terjadi karena soal materi. jarang sekali
perpecahan terjadi karena mempertahankan doktrin atau pengajaran masing-masing
seperti pada zaman Saleto dan Kalvin, ataupun Martin Luter. Para pemimpin
merasa takut kehilangan pendukung atau anggota. Contoh: banyak pemimpin begitu
khawatir akan kehadiran sebuah Persekutuan Doa karena asumsi mereka akan
timbulnya sebuah gereja baru. Sebenarnya anggota jemaat yang hadir tidak
mempermasalahakan dari mana asal mereka.
Yang penting mereka bisa bersama-sama bersekutu dan menerima Firman
Tuhan yang dapat menguatkan iman mereka.
Perubahan Paradigma
Pemimpin-pemimpin
perlu berwawasan oikumene sebagai alternatif upaya penyatuan gereja-gereja. Y.
Congar mengemukakan empat unsur yang termuat dalam oikumenisme:[11]
a)
Unsur pertama adalah kembali ke sumber-sumber.
Hal ini berarti menggali Alkitab, selain itu ajaran Bapa-bapa Gereja dan
liturgi, yang berpusat pada misteri-misteri paskah.
b)
Unsur kedua adalah dialog untuk memahami
posisi-posisi yang berbeda.
c)
Unsur ketiga adalah sejarah. Sejarah sangat
diperlukan sebagai bantuan untuk membedakan mana yang absolut dan yang relatif.
d)
Unsur keempat adalah Spiritual. Karya oikumenis
menuntut pertobatan yang mendalam dari hati manusia, yang meliputi seluruh
hidup dan kehidupan kekristenannya.
Lebih lanjut
pemahaman selanjutnya oleh para pemimpin Kristen dalam oikummene dengan
memahami cirri pokok keesaan gereja di Indonesia. Untuk mempersatukan
gereja-gereja di Indonesia dalam wadah PGI maka lahirlah Lima Ciri Pokok Gereja
Kristen Yang Esa di Indonesia:[12]
a)
Satu pengakuan iman. Percaya akan Tuhan Allah
yang Esa, yang telah menciptakan langit dan bumi serta memeliharanya, Ia
menciptakan manusia menurut gambar/citra-Nya. Allah telah menyelamatkan manusia
melalui penebusan Yesus Kristus. Roh Kudus yang memimpin umat dan berada di
tengah Gereja, serta mengakui bahwa Alkitab adalah pernyataan Allah kepada
manusia yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[13]
b)
Satu wadah bersama
c)
Satu tugas panggilan dalam satu wilayah bersama
d)
Saling mengakui dan saling menerima. Di
antaranya pengakuan keanggotaan gereja dan penerimaan/perpindahan keanggotaan,
pelayanan diakonia, pemberitaan firman berdasarkan Alkitab, pekabaran Injil,
baptisan kudus, perjamuan kudus, penggembalaan, disiplin gerejawi, pemberkatan
perkawinan gerejawi, pelayanan/pejabat gerejawi, serta penerimaan dan pengakuan
penguburan/pengabuan.[14]
e)
Saling menopang
Langkah-Langkah Stretegis Pemimpin Kristen
Seorang pemimpin Kristen
tidak boleh tinggal diam, merasa eksklusif, merasa cukup puas, nyaman, merasa
paling benar, dan bangga yang berlebihan
dengan gerejanya, karena yang sempurna hanya Tuhan Yesus Kristus. Dogma
atau pengajaran-pengajaran yang khas dari gereja-gereja hanyalah sarana
membangun iman. Apa yang harus dilakukan seorang pemimpin Kristen? Ada beberapa
peran strategis pemimpin Kristen dalam upaya oikumene yaitu:[15]
a.
Berkooperasi di dalam melayani pekerjaan Tuhan.
Hal ini bertujuan sebagai rasa kebersamaan anggota-anggota tubuh Krsitus yang
akan mengikat, merubah paradigma.
b.
Berkoordinasi apabila satu sama lain saling
membantu. Koordinasi dalam pelayanan antar gereja sebagai bentuk mengasihi
sesama, saling membantu untuk meyebarkan Injil adalah suatu hal yang mulia.
Seseorang tidak mungkin dapat melakukan banyak hal jika tidak ada kerjasama.
Masing-masing gereja memliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu bekerjasam
akan lebih baik untuk saling melengkapi.
c.
Melakukan konfirmasi, sehingga tidak timbul
prasangka yang buruk terhadap satu sama lain. upaya ini dapat dilakukan melalui
pelatihan sehingga hamba-hamba Tuhan dapat mengenali ajaran-ajaran gereja yang
lain sehiungga membina hubungan yang harmonis, tidak kaget melihat perbedaan.[16]
Karena banyaknya doktrin dan pemahaman tentang gereja masing-masing, maka
seorang pemimpin Kristen perlu berupaya untuk mengetahui dogma gereja lain agar
tidka menimbulkan suatu prasangka buruk.
d.
Berkonsultasi untuk mengambil langkah yang baru
yang akhirnya dapat menopang satu dengan yang lain.
BAB IV
KESIMPULAN
Secara teologis,
Allah menghendaki sebuah kesatuan dari gereja-gereja Tuhan yang ada.
Denominasi-denominasi yang begitu banyak seolah-olah telah membawa kesatuan
gereja ke jurang pemisah yang tidak mungkin menyatu. Banyak hal yang menjadi
penyebab timbulnya ketidakesaan ini antara lain masalah doktrin, materi, dan
kepentingan. Namun para pemimpin gereja tidak boleh terjebak dalam pesimisme
tetapi perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan pemahaman bahwa kita
bagian dari anggota tubuh Kristus, dan kita menyembah satu Tuhan yaitu Tuhan
Yesus Kristus.
by Noberth Elifas Tob
by Noberth Elifas Tob
[1]A. Heuken S. J, Ensiklopedia Gereja (Jakarta: Yayasan
Cipta Lokacaraka, 1989), 284
[2]
Christian De Jong, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta
: BPK-GM, 1996), xvii
[3]
J.B Banawiratmo SJ, Tempat dan Arah Gerakan
Oikemenis (Jakarta: BPK-GM,
1994), 30
[4]Christian de Jong,
Jan S.Aritonang, Apa dan Bagaiman Gereja (Jakarta :
BPK-GM, 2003), 51
[5]Christian de Jong
Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK-GM,
1996), 19-20
[6]I.H Enklaar, Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 340
[7]J. Van Den End,
dan S. J. Weitjens, Ragi Carita II (Jakarta: BPK-GM, 2008), 381
[8]Christian De Jonge, Pembingbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 87
[10]Ibid,
25
[11]J.B.
Banawiratmo. dkk., Tempat dan Arah
Gerakan Oikumenis (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), 9-70
[12]
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dalam
Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), 14
[13]Ibid,
80-91
[14]Ibid,
99-108
[15]Jusuf
Roni, One Body of Christ (Jakarta: Jusuf Roni Center,
2012), 22
[16]Ibid,
26
Bagus Artikelnya
BalasHapusterima kasih,GBU
HapusPuji Tuhan,saya bertemu dengan penulis yang berhubungan dengan gagasan besar saya tentang gerakan Oikumen di Indonesia,bermimpi tentang adanya sebuah land mark NTT yang mayoritas Kristen yang betagam.Gagasan ini adalah karya ilmiah PROYEK AKHIR saya untuk meraih gelar sarjana arsitektur tahun 1997,mudah-mudahan Tuhan memeri jalan
BalasHapusAmin
HapusSaya yoseph marto,manggarai timur ntt hp 081236947221,menyimpan karya arsitektur OIKMENE CENTRUM,untuk dijadikan land mark ntt yang dibangun di sebuah pulau kecil yaitu pulau Kera yg berada di tengah teluk Kupang,semoga anda sbgai penulis akan bersama saya mendukung terwujudnya gagasan ini,Amin
BalasHapusAmin
HapusASYIK TAMBAH PENGETAHUAN
BalasHapusTerima kasih pak Jhon Toma
HapusSands Casino Resort: All You Need to Know BEFORE You
BalasHapusWith thousands of slot machines, hundreds of table games and an array of live entertainment, Sands Casino 샌즈 카지노 파트너 Resort in Las Vegas is ready for action.