Spesisfikasi
Judul Buku : Menuju Keesaan Gereja
Penulis : Dr. Christiaan de Jonge
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta
Tahun : 2014
Tebal : xviii + 242 halaman
Buku ini membahas
banyak hal tentang oikumene. Dimulai
dengan pendahuluan yang membahas pengertian oikumenika. Oikumenika adalah ilmu
yang menyangkut oikumene. Oikumenika membahas usaha-usaha orang Kristen dan
gereja-gereja yang berbeda-beda untuk menjadi satu atau esa. Jadi, dengan kata
lain oikumene bertolak dari
perbedaan-perbedaan paham teologis yang hendak diatasi. Soal perbedaan ini
dapat didekati dari beberapa segi. Yang pertama adalah dari segi historis,
yakni melihat bagaimana usaha-usaha mewujudkan keesaan ini dalam sejarah
gereja. Selain dari segi historis, juga ada segi praktis. Dalam sejarah gerakan
oikumenis seringkali kerinduan untuk menjadi esa lahir dari kerjasama yang telah ada, umpamanya dibidang pekabaran
Injil. Karena ada tugas yang dihadapi bersama, maka orang-orang Kristen dan
gereja-gereja mencoba memperdalam kerjasama yang ada dan mencari dasar teologis
bersama untuk kerjasama mereka.
Oikuimene adalah
bahasa Yunani yang berasal dari kata oikeo
yang berarti tinggal, berdiam, atau juga mendiami. Oleh sebab itu arti
harafiah oikumene adalah “yang
didiami”. Tetapi participium ini telah beroleh arti khusus sebagai kata benda.
Arti pertama adalah geografis: dunia yang didiami (Luk 4:5; Rm 10:18; Ibr 1:6).
Dapat juga berarti: umat manusia (Kis 17:31; 19:27; Why 12:9). Dapat juga
mendapat arti politik: kekaisaran Romawi (Kis 24:5) dan semua penduduknya (Kis
17:6).
Akar-Akar Gerakan
Oikumenis Pada Abad-Abad Lalu, Sampai Dengan Konperensi Pekabaran Injil Sedunia
Di Edinburgh (1910)
Pada zaman
reformasi Katolik Roma untuk pertama kali (sejak khisma dengan Gereja Ortodoks
Yunani tahun 1054) diperhadapkan dengan ancaman perpecahan besar-besaran.
Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari gereja (1521), namun tetap
diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut-pengikutnya, kaum Injili, demi
kesatuan kaum Kristen dari ancaman Turki. Usaha-usaha ini, yang didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan politik, menghasilkan pembicaraan-pembicaraan di
Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540) dan Regensburg (Ratisbon, 1541) di
wilayah kekaisaran Jerman dan di Prancis, tetapi persetujuan tidak
dicapai. Dikalangan kaum Injili ternyata
tidak mungkin juga untuk mencapai kesatuan. Walaupun kaum Injili memisahkan
diri dai Roma, namun tetap ada kesadaran, baik
di kalangan Protestan maupun Katolik-Roma bahwa satu warisan menjadi
milik bersama, yaitu warisan gereja kuno. Kaum Reformator mengakui ketika
simbol gereja kuno (pengakuan iman rasuli, Nicaea-Constatinopel dan Athanisius)
sebagai simbol oikumenis dan lebih luas,
menerima hasil konsili-konsili oikumenis
gereja kuno sebagai sesuai dengan Alkitab.
Timbul kesadaran bahwa
usaha-usaha untuk memulihkan perpecahan yang diakibatkan reformasi harus
bertolak dari warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di kalangan kaum
humanis, cendikiawan katolik maupun Protestan yang mengecam keadaan gereja
Katolik Roma pada zaman itu karena telah menyimpang dari ajaran dan praktik
gereja kuno. Namun usaha perdamaian mereka agak bersifat intelektual dan
individual, dan kurang berakar dalam gereja.
Pada abad ke-17 dan ke-18,
usaha-usaha dari abad reformasi dilanjutkan:
1. Mencari titik persatuan dalam
warisan gereja kuno.
2. Merumuskan semacam daftar
pasal-pasal iman yang dianggap azasi untuk iman Kristen, yang harus diterima
secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi tidak boleh
menjadi alas an untuk perpecahan antara orang-orang Kristen.
Kekurangan usaha-usaha di
atas adalah bahwa yang pertama dianggap terlalu intelektualitas untuk
diterima secara umum di gereja-gereja. Sedangkan yang kedua waktunya belum
matang. Gereja-gereja masih terlalu mengindahkan rumusan-rumusan konvesional
masing-masing.
Setelah rumusan-rumusan
konfesional kehilangan peranan yang menentukan. Pada zaman pencerahan dan
pietisme munculah pendapat yang mengatakan bahwa iman Kristen bertolak dari
hati pribadi. Kesalehan pribadi, penghayatan iman secara individual adalah yang
terutama, dan semua hal lain, seperti keanggotaan gereja atau penerimaan suatu
konfeksi adalah hal kedua. Dengan penekanan pada individu maka konfeksi gereja
direlativer. Gereja berusaha mencari hubungan dengan gereja-gereja lain.
Pietisme, yang muncul di gereja Lutheran Jerman, sejak awal bersifat terbuka
terhadap usaha-usaha yang sedemikian di kalangan Calvinis, bahkan Katolik Roma.
Sikap terbuka di kalangan
pietis kemudian sangat mempengaruhi perhimpunan-perhimpunan pekabaran injil.
Perhimpunan-perhimpunan ini juga mengutamakan iman sederhana kepada Yesus
Kristus. Pada abad
ke-19 timbulah usaha lain sbb:
1.
Usaha
mempersatukan orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang mempunyai dasar
teologis atau konfesional yang sama.
2.
Usaha
untuk mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan yang
diprakarsai oleh Thomas Chalmers (1780-1847), yang kemudian hasilnya ialah
pembentukan Evangelical Alliance di London, tahun 1846. Namun ini juga tidak
pernah berhasil untuk menupulkan orang-orang Kristen yang dapat dianggap wakil
gereja mereka dan tetap bersifat perhimpunan yang pribadi.
3.
Voluntary
movement yang lahir karena pengaruh Revivalism, gerakan kebangunan rohani di
Amerika Serikat. Misalnya: YMCA (Persatuan para pemuda Kristen 1844), YWCA
(persatuan para pemudi Kristen 1854), SCM (gerakan mahasiswa kristen). Yang
memiliki pandangan bahwa bukan konfeksi gereja yang penting, tetapi iman murni
kepada sang juruselamat. Tugas bersama orang Kristen adalah menginjili.
4.
Usaha
untuk bekerja sama di bidang pekabaran injil. Dimulai dengan penerjemahan
Alkitab. Lembaga Alkitab yang pertama untuk penyebaran Alkitab di lapangan
pekabaran injil adalah British and Foreign bible Society, tahun 1804. Juga
diadakannya konferensi-konferensi yang menghasilkan pemahaman bahwa dalam
pekabaran injil perlu suatu pembagian lapangan pekabaran injil untuk
menghindari apa yang disebut “pekabaran injil rangkap”.
Sejak 1854 diadakan
konperensi-konperensi pekabaran injil untuk dunia anglo-Amerika, tahun 1866
untuk daratan Eropa, tahun 1860 di Liverpool dan 1885 di London diadakan
Konperensi Pekabaran Injil International. Tahun 1900 di New York diadakan Eucumenical Conference on Foreign Missions,
yang diselenggarakan oleh Evangelical Alliance.
Usaha ini bermuara pada
konperensi pekabaran injil sedunia di Edinburgh (14-23 juni 1910), yang
dipelopori oleh John Raleigh Mott (1865-1955). Konperensi ini untuk membahas
sejumlah persoalan yang timbul di lapangan pekabaran injil. Pokok-pokok yang di
bahas: 1) Pekabaran injil di seluruh dunia. 2) Gereja di lapangan pekabaran
injil. 3) Pendidikan dan pengkristenan. 4) Berita Kristen dan agama-agama bukan
Kristen. 5) Persiapan para pekabar injil. 6) Hubungan dengan pangkal di dalam
negeri. 7) Hubungan dengan pemerintah. 8) Kerjasama dan keesaan.
Keputusan ini di kemudian
hari ternyata berarti langkah awal di sejarah oikumene, sehingga konperensi
pekabaran injil sedunia di Edinburgh 1910 dilihat sebagai saat kelahiran
gerakan oikumenis.
Akibat Edinburgh
(I) : International Missionary Council 1921-1961
Continuation
Comite yang terbentuk di Edinburg 1910
terhambat karena pecahnya Perang Dunia Dunia Pertama (1914-1918). Baru pada
tahun 1921 didirikan International Missionary Council (IMC), yang ketuanya John
Mott. Setelah Edinburg, berdirilah dewan-dewan semacam itu seperti Dewan-dewan
Kristen Nasional ( di India, Korea, Jepang, India dan Tiongkok). Sejak Tahun
1912 mulai diterbitkan International
Review of Mission (IRM), majalah untuk pekabaran Injil dan missiologiyang
ada sampai sekarang.
Konperensi-konperensi
pekabaran Injil yang diadakan sejak Edinburg sampai saat IMC memutuskan untuk
menggabungkan diri dengan Dewan Gereja-gereja Sedunia adalah sebagai berikut:
1.
Konperensi
di Yerusalem (23 Maret-8 April 1928) yang membicarakan hubungan antara
gereja-gereja muda dan tua, hubungan dengan agama-agama lain, sekularisasi
serta comprehensive approach to the Jews. Comprehensive approach bertolak dari
pendapat bahwa Injil menyangkut seluruh manusia, yaitu jiwanya, hubungannya
dengan sesama manusia dan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu pekabaran Injil
tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan orang-perorangan. Pekabaran Injil
juga termasuk pekerjaan sosial, medis, pendidikan, singkatnya kegiatan-kegiatan
yang mencakup segala bidang kehidupan. Pekabaran Injil adalah pemberitaan kabar
syalom yang menyangkut manusia seutuhnya.
2.
Tambaran
12-29 desember 1938, yang memainkan peran penting dalam konperensi ini adalah
buku Dr. H. Kraemer, the Christian message in a non-Christian World
untuk melawan buku Rethinking Missions (1932) yang membicarakan tentang adanya
pengaruh Barth dan demikian pengaruh ini masuk dunia pekabaran Injil
international, menolak kolonialisme, memberi perhatian kepada kemandirian
gereja-gereja muda, pendidikan untuk pendeta-pendeta pribumi dan pendidikan
teologia yang baik, kerjasama dan keesaan.
3.
Whitby
(kanada) 5-24 juni 1947. Temanya adalah: The Christian Witness in a
Revolutionary World (kesaksian Kristen dalam dunia yang revolusioner).
Gereja-gereja tua dan muda mulai saling mengakui sebagai “partners in
obedience” (mitra dalam ketaatan), yang sama-sama diperhadapkan dengan tugas
mengabarkan injil di seluruh dunia. Istilah “partners in obedience” menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan antara gereja tua dan muda karena keduanya adalah
bagian gereja oikumenis, gereja sedunia, yang memiliki tugas yang sama.
Keduanya haruslah saling membantu dalam melaksanakan tugas ini. Ini menunjukan
bahwa dunia tidak lagi di bagikan dalam lapangan pekabaran Injil.
4.
Willingen
(jerman) 5-12 juli 1952, dengan tema “The Missionary Obligation of The Church” (Kewajiban
gereja untuk mengabarkan Injil).
5.
Achimota
(Ghana, Africa), 28 desember 1957- 8 januari 1958. Yang bertema “The Christian
Mission in This Hour” (Misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk
mengintegrasikan IMC dengan DGD.
Akibat Edinburg (II): Gerakan Faith And
Order 1910-1937
Tujuan Faith and Order, yang
dirumuskan oleh Brent, adalah mencari jalan menuju keesaan gereja. Untuk
mencapai tujuan ini Brent mengusulkan untuk mengadakan suatu konperensi yang
mempercakapkan soal-soal iman dan tata gereja dan melihat bagaimana
halangan-halangan untuk keesaan gereja dapat diatasi.
Perkembangan yang terjadi di
kalangan gereja-gereja yang bercorak Anglikan. Rumusan dasar keesaan di
Anglikan Communion yang dikenal dengan nama Lambeth Quadrilateral mencantumkan
empat hal yang menggabungkan gereja-gereja Anglikan yaitu: 1) Alkitab sebagai
ukuran iman. 2) Pengakuan iman rasuli dan pengakuan iman nicea-constantinopel.
3) Kedua sakramen, baptisan dan perjamuan kudus. 4) Jabatan uskup yang
historis. Penekanan pada keesaan gereja yang kelihatan dan terwujud secara
organisatoris merupakan sumbangan Anglican Communion kepada gerakan Faith and
Order.
Akibat Edinburg (III):
Gerakan Life And Work 1919-1937; World Alliance 1914-1948
Prasejarah Life and Work
terdapat dalam aksi Kristen di bidang sosial pada abad ke-19. Banyak organisasi
Kristen melibatkan diri dalam aksi sosial. Maka timbulah kesadaran bahwa dalam
menghadapi hal-hal sosial orang-orang Kristen harus bekerjasama. Kerjasama ini
di bidang sosial-ekonomi dan bidang perdamaian internasional. Salah seorang
pelopor gerakan ini adalah J.H. Wichern (1808-1881). World Aliance adalah salah
satu organisasi di bidang ini. Sesudah Perang Dunia Pertama, World Alliance
membicarakan pada konperensi-konperensi soal-soal International seperti Liga
Bangsa-bangsa, pelucutan senjata, nasionalisme, dan internasionalisme.
Usaha-usaha lain yang mereka lakukan adalah: 1) memperjuangkan kebebasan
beragama; 2) melawan halangan-halangan untuk gereja-gereja, sekolah-sekolah dan
institut-institut Kristen; 3) mencari penyelesaian konflik-konflik gerejani dan
politik yang memecahkan gereja; 4) memajukan hubungan-hubungan persahabatan
internasional antara gereja-gereja dan jemaat-jemaat; 6) mencari perdamaian; 6)
mendukung usaha-usaha yang memajukan keadilan dalam hubungan antar bangsa.
Pembentukan Dewan
Gereja-gereja Sedunia
Semangat untuk mendirikan
Dewan Gereja-gereja Sedunia telah dikemukakan sejak ahir Perang Dunia pertama.
Sejak 1933 organisai-organisasi oikumenis seperti Faith and Order, Life and
Work, IMC, World Alliance, WSCF dan YMCA mulai membicarakan hal ini. Rencana
untuk mengadakan siding raya DGD yang pertama tahun 1941 digagalkan karena
Perang Dunia II (1939-1945). Pengalaman bersama semasa perang menyebabkan
gerakan oikumenis semakin maju. Untuk membuka jalan ke siding DGD yang pertama,
hubungan antar gereja-gereja Jerman harus dipulihkan kembali.
Sidang DGD pertama diadakan
di Amsterdam, 22-23 Agustus 1948, dan pada tanggal 23 the World Council of
Churches didirikan secara resmi.
Sejarah Singkat Dewan
Gereja-gereja Sedunia dari Sidang Raya II – VI
Sidang Raya DGD II diadakan
di Evanston, 15-31 agustus 1954 dengan tema “Kristus Harapan Dunia”. Ada 6 seksi,
yaitu: 1) Faith and Order (Iman dan Tata Gereja- Keesaan Kita di dalam Kristus
dan Perpecahan Kita Sebagai Gereja), 2) Penginjilan- pekabaran injil gereja
kepada orang-orang yang ada di luar kehidupannya, 3) Masalah-masalah sosial-
masyarakat yang bertanggung jawab di dalam perspektif seluruh dunia, 4) Perkara-perkara
internasional-orang-orang Kristen dalam pergumulan terhadap masyarakat dunia,
5) Hubungan-hubungan antar kelompok-gereja ditengah-tengah ketegangan ras dan
suku, 6) kaum awam- orang Kristen dalam panggilannya.
Sidang Raya DGD III New Delhi
(19 nopember-5 desember 1961) dengan tema “Yesus Kristus terang dunia”. Tema ini
dibahas dalam 3 seksi, yakni Witness, Service dan Unity. Beberapa peristiwa
penting terjadi pada siding raya ini: 1) Penggabungan antara IMC dan DGD yang
menunjukan bahwa gereja-gereja barat dan gereja-gereja dari Asia dan Afrika
adalah sama penting di gerakan oikumenis. 2) Gereja-gereja ortodoks Rusia,
Rumania, Bulgaria, Polandia menjadi anggota sehingga menjadi lebih nyata bahwa
gerakan oikumenis bukan saja hal protestan. 3) Keanggotaan DGD diperluas kearah
dunia ke3 dan kearah kekristenan pentakostal. 5) Untuk pertama kalinya
peninjau-peninjau dari gereja Katolik Roma sebagai hasil sikap lebih terbuka
gereja ini.
Sidang raya DGD IV di
Uppsala, Swedia 4-20 juli 1968, dengan tema “Lihat, Aku Menjadikan Segala
Sesuatu Baru” (Why 21:5). Penekanannya adalah pada pembangunan. Ada 6 seksi: 1)
Roh Kudus dan
katolisitas gereja. 2) Pembaharuan dalam pekabaran Injil. 3) Ekonomi dunia dan
perkembangan masyarakat. 4) Menuju keadilan dan perdamaian dalam perkara-perkara
internasiaonal. 5) Ibadah. 6) Menuju gaya hidup baru
Sidang Raya DGD V diadakan di
Nairobi, Kenya dari 23 November – 10 Desember 1975. Semula siding ini akan
diadakan di Jakarta, namun timbul ketegangan dengan kelompok-kelompok Muslim,
dan memuncak pada pembunuhan seorang imam Anglikan. Temanya adalah “Jesus
Christ frees and unites” (Yesus Kristus membebaskan dan mempersatukan). Ada
enam seksi yaitu: 1) mengaku Kristus dewasa ini; 2) apa yang dibutuhkan untuk
keesaan; 3) mencari persekutuan (dialog antara kepercayaan-kepercayaan,
kebudayaan-kebudayaan dan ideologi-ideologi); 4) pendidikan untuk pembebasan
dan persekutuan); 5) struktur-struktur ketidakadilan dan perjuangan untuk
pembebasan; 6) kekuasaan, teknologi, kuallitas hidup.
Sidang Raya DGD VI diadakan di Vancouver, Kanada, 24
Juli-10 Agustus 1983. Yang hadir sekitar 3000 peserta, dari 314 gereja. Temanya
“Yesus Kristus, Kehidupan Dunia”.
Oikumene Denominasional
Sejak 1867 Gereja Anglikan
mengadakan konperensi di London, dan pada tahun 1888 diputuskan untuk meneliti
hubungan-hubungan dengan gereja-gerja lain, sehingga sehingga semangat
oikumenis masuk ke dalam konperensi-konperensi. Reformed and Presbyterian
Alliance, sejak bergabung dengan ICC (1970) bernama World Alliance of Reformed Church.
WARC dapat dilihat sebagai wadah oikumenis sebab semangat oikumenis sudah ada
sejak permulaan. WARC sangat mendukung
DGD. Pada tahun 1876 gereja Methodis mengadakan konperensi untuk mewujudkan
kerjasama antara gereja-gereja Methodis di Amerika. Pertemuan gereja-gereja Baptis pada tahun
1905 dibentuk Baptis World Alliance. Walaupun BWA menyetujui gerakan oikumenis
dan menganjurkan anggota-anggotanya untuk terlibat di dalamnya, soal baptisan
menjadi persoalan besar, sebab baptisan orang percaya (dewasa) sebagai
satu-satunya baptisan yang sah.
Gereja Lutheran pada abd
ke-19 telah mengadakan konperensi bersama, baru pada tahun 1947 nama Lutheran
World Convention dirubah menjadi Lutheran World Federationn (LWF).
Anggota-anggotanya tetap gereja-gereja Lutheran, tetapi tujuan ikut serta dalam
gerakan oikumenis, lebih khusus menghadirkan unsure konfesional dalam DGD. Berbeda dengan DGD, oikumene konfesional
dianggap lebih utama dari oikumene geografis, sesuatu yang kadang-kadang
menimbulkan ketegangan.
Oikumene di Asia
Pilon menyebut empat hal hal
yang menentukan perlembangan oikumene di Asia: 1) Nasionalisme di Asia sesudah
Jepang mengalahkan Rusia pada tahun 1905. Timbul perasaan bahwa orang Asia
tidak perlu diatur oleh orang-orang Barat, sebab mereka dapat mengurus
perkara-perkara mereka sendiri. 2) Pengaruh pekabaran Injil. 3) Pengaruh
agama-agama lain. Gereja-gereja Asia harus menghadapi orang-orang yang bukan
Kristen. 4) Pengaruh Alkitab (Yoh 17:21).
Setelah John Mott mengunjungi
Asia, didirikanlah dewan-dewan pekabaran Injil nasional di India, Tiongkok dan
Jepang. Di India dibentuk Church South of India (1947). Konperensi kedua IMC
diadakan di Prapat, pada Maret 1957. Di
sana diputuskan untuk membentuk suatu dewan, East Asia Christian Conference (EACC).
Pada tahun 1973 nama EACC dirubah menjadi Christian Conference of Asia (CCA)
dan pada tahun berikutnya dibuka kantor CCA di Singapura. Ada panitia untuk
Inter Church Aid (Perkara-perkara International untuk region Asia, gereja dan
masyarakat), Urban and Rural Mission (Kerjasama dan pertukaran tenaga di bidang
pekabaran Injil, kaum awam, literature dan komunikasi masa).
Oikumene di Indonesia
T. B. Simatupang mengatakan
ada lima jenis pengaruh yang nyata dalam
sejarah pembentukan DGI, yaitu: 1) Alkitab (Yoh 17:21) dan pengakuan iman; 2)
nasionalisme di Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia kedua; 3)
pengalaman pemuda Kristen dalam Perhimpunan Mahasiswa-mahasiswa Kristen dan
pada Sekolah Tehologia Tinggi; 4) pengalaman pada masa Jepang; 5) pengaruh
gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh tokoh-tokoh di
kalangan pekabaran Injil.
Usaha kerjasama di kalangan
pekabaran Injil mulai di Indonesia dengan pembentukan Zendingconsulaat (Perwakilan Pekabaran Injil) pada tahun 1906.
Doronganyang lebih langsung untuk gerakan oikumenis di Indonesia yang bermuara
pada pembentukan DGI pada tahun 1950. Tujuan DGI adalah pembentukan gereja
Kristen yang esa di Indonesia, termasuk bentuknya. Namun, jalan menuju keesaan
itu sulit. Berbagai faktor non-teologis begitu berpengaruh sehingga persoalan
keesaan gereja perlu ditunda. Pada tahun
1976 ditulis suatu konsep oikumenis bahwa keesaan seharusnya keesaan dalam
kepelbagaian, secara konkrit federasi. Pada Sidang Raya X di Ambon akhirnya
ditetapkan Piagam Saling Mengakui dan Menerima dan Pemahaman Bersama Iman
Kristen, akan tetapi gereja yang esa belum terwujud.
Gereja Katolik Roma dan
Gerakan Oikumenis
Sebelum kepausan Paus Yohanes
XXIII, sikap Gereja Katolik Roma
terhadap gerakan oikumenis ditentukan oleh pemahaman bahwa gereja yang benar
seperti yang dimaksud dalam Pengakuan Iman hanya gereja yang dipimpin oleh Paus
sebagai wakil Kristus. Telah terjadi keesaan, oleh sebab itu tidak perlu suatu
gerakan oikumenis yang di luar Roma. Pada konperensi Edinburg lima orang
Katolik hadir, tetapi ditekankan mereka tidak mewakili gereja mereka.
Itu tidak berarti bahwa sama
sekali tidak ada perhatian untuk gerakan oikumenis dari pihak Katolik Roma.
Telah dilakukan upaya percakapan, tetapi
gereja Ortodoks Timur dan gereja Anglikan menolak kepemimpinan Paus. Paus
Yohanes XXII (1958-1963) memimpin Katolik-Roma pada suatu zaman baru. Pada
tahun 1959 ia mengundang suatu konsili oikumenis (seluruh gereja Katolik) untuk
membicarakan masa depan gereja. Pada saat Konsili Vatikanum II, Paus
berpendapat bahwa pembaharuan gereja tidak mungkin kalau “saudara-saudara yang
terpisah” tidak dilibatkan, sehingga pada tahun 1960 didirikan sekretariat
untuk memajukan keesaan Kristen. Dokumen yang terpenting untuk sikap Gereja
Katolik-Roma terhadap gereja-gereja lain adalah dekrit de oecumenismo “Unitatis redintegratio” (pemulihan kembali keesaan)
yang mendobrak isolemen Roma dan mengajak orang-orang Katolik untuk bekerjasama
dengan “saudara-saudara terpisah”. Sejak Paus XXII, ada hubungan Gereja Katolik
Roma dengan DGD, LWF, WMC, dan hubungan bilateral dengan gereja-gereja Timur,
serta Anglikan. Untuk mempererat kerjasama, mereka berkumpul dua kali setahun
melalui Kelompok Kerjasama antara Gereja Katolik-Roma dan DGD. Akan tetapi,
Gereja Katolik-Roma hanya ingin bekerjasama dengan DGD tetapi jalan untuk
mencari bentuk keanggotaan menemuui jalan buntu. Setelah Paus Yohanes I dan II naik takhta, mereka berpegang teguh kepada ajaran resmi
Katolik sehingga semakin sulit untuk
mewujudkan kerjasama dengan gereja-gereja lain dalam bentuk organisasi yang
konkrit.
Dekrit Konsili Vatikan II “De
Ecumenismo”
Dalam konsili Vatikan II
(1961) dikeluarkan dekrit yang berisi sikap Katolik-Roma terhadap gerakan
oikumenis yang sudah ada di luar. Dijelaskan bahwa gereja yang esa yang
didirikan oleh Kristus, sejak zaman permulaan mengalami perpecahan-perpecahan.
Baik pihak Katolik maupun bukan Katolik bersalah dalam perpecahan-perpecahan
ini. Ditegaskan pula bahwa mereka yang hidup terpisah dari Roma melalui
baptisan berada dalam tubuh Kristus, sehingga mereka patut disebut orang
Kristen dan patut diterima oleh orang-orang Katolik sebagai saudara-saudara dalam
Kristus.
Selain itu bahwa keterlibatan
Gereja Katolik-Roma dalam gerakan oikumenis khususnya terwujud melalui dialog
dan doa bersama. Usaha oikumenis dilihat sebagai perkembangan persekutuan yang
secara azasi sudah ada. ibadah bersama diperbolehkan tetapi tidak dengan
perayaan sakramen ekaristi. Orang-orang Kristen dianjurkan untuk melibatkan
diri dengan gerakan oikumenis dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan ini,
khususnya untuk mencari bersama-sama dasar Kristen untuk menghadapi
tantangan-tantangan zaman modern.
Baptism, Eucharist an
Ministry
Baptism,
Eucharist an Ministry (BEM)
sejak konperensi pertama di Lausanne tahun 1927 telah menginventarisasikan apa
yang diterima oleh masing-masing gereja mengenai iman dan tata gereja, di mana
persamaan dan di mana perbedaan. Mereka memiliki konsep yang dimuat dalam buku Ecumenical Perspectives on BEM : Konsep
mengenai Perjamuan, baptisan, jabatan,
dan juga konsep mengenai liturgi yang merupakan langkah maju yang
penting kea rah keesaan melalui ibadah bersama.
Menurut mereka melalui
baptisan orang mengambil bagian dari kematian Kristus, tanda pertobatan,
pengampunan dan penyucian. BEM tidak mempersoalkan cara merayakan baptisan
(percik atau selam). Perjamuan berdasarkan Perjanjian Baru. Arti perjamuan
adalah mengucap syukur kepada Bapa, peringatan akan Kristus, dan seruan akan
Roh Kudus.
Lima Dokumen Keesaan PGI
Sesudah Sidang Raya IX di Tomohon (1980) DGI merumuskan lima dokumen
yang harus menjadi pegangan untuk gereja yang esa yang hendak dibentuk di
Indonesia pada Sidang Raya X di Ambon (1984). Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja
di Indonesia, yaitu:
1. Pokok-pokok Tugas Panggilan
Bersama (PTPB) 1984-1989; semacam GBHN untuk PGI; di dalamnya ditetapkan apa
yang harus dikerjakan oleh gereja-gerja selama periode 1984-1989;
2. Pemahaman Bersama Iman
Kristen (PBIK); yaitu suatu pengakuan iman yang menggantikan pemahaman bersama
dari tahun 1967 (yang tidak pernah diterima secara resmi);
3. Piagama Saling Mengakui dan
Salinng Menerima (PSMSM) di antara gereja-gereja anggota PGI, yang mengatur saling
mengakui secara praktis dan tidak mendalami masalah-masalah teologis.
4. Tata Dasar Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia, yang menggantikan tata dasar yang lama,
mencantumkan nama yang baru untuk dewan gereja-gereja di Indonesia dan
mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya azas untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
5. Dokumen “Menuju kemandirian
teologi, daya dan dana”; secara khusus membahas masalah pendewasaan
gereja-gereja di Indonesia, supaya bebas dari gereja-gereja luar negeri dalam
soal pembiayaan dan teologi, serta mempergunakan dan mengembangkan daya
anggota-anggota gereja sendiri.
Pemahaman Mengenai Keesaan Gereja
Tujuan gerakan oikumenis
adalah keesaan gereja. Akan tetapi keesaan yang bagaimana yang hendak dicapai? Menjadi
persoalan yang sering terjadi adalah bagaimana keesaan gereja itu diwujudkan.
Gerakan Faith and Order menciptakan “keesaan gereja yang kelihatan secara
lengkap”. Tidak hanya menyangkut ajaran gereja, tetapi juga kehidupan beribadah
dan tata gereja. Namun, disadari bahwa keesaan Nampak secara sempurna tidak
mungkin tercapai. Oleh karena itu panita untuk persiapan konperensi Faith and
Order yang kedua di Edinburg (1937) menguraikan tiga model keesaan, yaitu: 1)
aksi bersama, 2) saling mengakui dan merayakan Perjamuan Kudus bersama, dan 3)
mengusahakan keesaan gereja yang dipahami sebagai keesaan dalam keanekaragaman
sebagaimana terdapat dalam satu tubuh (bdk 1 Kor 12). Setiap anggota tubuh
memiliki ciri yang berbeda, tetapi tetap merasa diri anggota seluruh tubuh,
sedangkan keesaan tubuh tidak menghalangi keanekaragaman dalam karunia-karunia
yang dimiliki masing-masing anggota.
Evangelical-Ecumenical:
Sekitar Church Growth
Gerakan “evangelical” atau
Injili lahir di Inggris yang dipelopori oleh John Wesley. Mereka menolak
kecenderungan kaum Anglikan untuk mengarah ke katolisme. Dengan demikian
“evangelical” menunjuk kepada paham Protestan yang ortodoks yang disertai
keinginan untuk mengadakan evangelisasi dan pekabaran Injil. Setelah
pengabungan IMC dan DGD dan setelah konperensi pekabaran Injil sedunia di
Bangkok (1972-1973), terjadi perbedaan pemahaman mengenai pekabaran Injil. Kaum
evangelical menekankan pertobatan sebagai tujuan pekabaran Injil, sedangkan
pelayanan sosial cenderung diabaikan karena dianggap bukan sebagai tugas
seorang pekabaran Injil. Namun, pada konperensi pekabran Injil sedunia di San
Antonio terlihat bahwa kedua kelompok telah saling mendekati.
Menurut McGavran dalam The Conciliar-Evangelical Debate, mengemukakan
pemahamannya mengenai pekabaran Injil. Menurutnya, pekabaran Injil adalah
memenagkan sebanayk mungkin orang bagi Kristus, dan membawa mereka masuk dalam
gereja-gereja. Hal-hal organisatoris yang menyangkut gereja tidak penting, asal
orang masuk. Memenangkan adalah membaptis. Kaum ekumenikal menekankan hal yang
berbeda dari evangelical, seperti pelayanan sosial, perubahan struktur-struktur
yang tidak adil, kehadiran Kristus untuk memberikan tanda-tanda shalom, tanpa menyangkal pentingnya
orang menerima Kristus, memberi diri dibaptis, menjadi anggota gereja.
Teologi Asia
Teologi Asia sama sperti
teologi Afrika Latin, yang merupakan teologi yang oikumenis. “Teologi
oikumenis” yang dimaksudkan di sini adalah teologi yang lahir dari pertemuan
oikumenis antara orang-orang Kristen dari gereja-gereja dan latar belakang yang
berbeda. Ini merupakan usaha untuk meniadakan corak Barat yang berabad-abad
lamanya melekat pada teologi Kristen, dengan mencoba merumuskan suatu pemahaman
yang relevan untuk konteks kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan Eropa Barat
dan Amerika Utara.
Di India diusahakan untuk
mengembangkan teologi sendiri. Diupayakan untuk menjelaskan iman Kristen kepada
orang-orang yang berlatarbelakang Hindu dalam istilah-istilah yang tidak asing
untuk mereka. Di Korea teologi Minjung, merupakan
upaya untuk merumuskan suatu teologi yang memperhatikan pergumulan rakyat
jelata yang sudah lama tertindas dan sekarang hidup dalam masyarakat yang
mengalami pengaruh Barat melalui perang dan industrialisasi. Di Jepang Kanzo
Uchimura mencari bentuk kekkristenan
yang bebas dari pegaruh Barat dengan mendirikan Non-Chruch Movement, suatu
gerakan orang-orang Kristen yang tiidak mau menjadi anggota salah satu gereja
yang dibawa dari Barat. Dalam iman, mereka mencari hubungan antara iman Kristen
dan nilai-nilai kebudayaan Jepang. Di
Indonesia pokok-pokok yang mengundang refleksi teologis adalah peranan gereja
dalam pembangunan nasional, hubungan iman Kristen dengan Pancasila sebagai
ideologi negara, dan hubungan gereja dengan kebudayaan.
Dalam karangan “The Critical
Asian Principle”, yang dimuat oleh D.J. Elwood, menunjuk tujuh hal yang
menentukan konteks teologi Asia, yaitu: 1) keanekaragaman ras, bangsa,
kebudayaan, dan agama; 2) penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat pada masa lampau;
3) pembangunan nasional serta modernisasi yang diusahakan pada masa sekarng; 4)
kebutuhan untuk mencari identitas diri yang baru pada zaman modern; 5)
kehadiran agama-agama besar (Hindu, Budha, Islam); 6) pencarian tatanan sosial
yang baru; 7) kenyataan bahwa pada umumnya umat Kristen adalah kaum minoritas.
Ketujuh hal ini harus diperhatikan dalam perumusan teologi Asia.
Dialog Antar Umat Beragama
“Dialog antar umat beragama”
menunjuk kepada pertemuan serta percakapan antara orang-orang yang berbeda
agama yang diadakan untuk saling mengenal dan saling belajar mengenai agama
yang diyakini. Antara dialog dan pekabaran Injil terdapat hubungan erat.
Verkuyl membedakan tiga bentuk dialog. Yang
pertama adalah dialog untuk memajukan saling pengertian antara
orang-orang yang beragama lain. Kedua adalah dialog guna mencapai kerjasama
untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama, seperti masalah
penderitaan manusiawi, ketidakadilan dan hal-hal yang mengancam perdamaian
dunia. Ketiga adalah dialog dalam rangka
pemberitaan Injil. Orang-orang dari agama yang berbeda masing-masing memberi
kesaksian tentang keyakinan mereka dan mencari kebenaran yang hendak dinyatakan
Allah kepada manusia.
Gagasan untuk mengadakan
dialog dengan agama lain muncul sejak permulaan gerakan oikumenis pada
konperensi di Edinburg (1910), konperensi IMC di Yerusalem (1928) dan Tambaran
(1938). Garis-garis petunjuk untuk dialog ditekankan bahwa manusia diciptakan
Allah untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan sesama manusia. Alasan lain
untuk mengadakan dialog adalah bahwa
manusia di dunia modern tidak mau bertemu dengan sesama yang beragama lain.
Persoalan-persoalan teologis
yang berkaitan dengan dialog, pertama-tama dialog teologis menyangkut
orang-orang bukan sistem-sistem agama dan ideologis. Selain itu dialog hanya dapat
didekati dengan penyesalan (karena sering gereja bertindak seakan-akan
mempunyai monopoli atas kebenaran Allah), rendah hati, gembira dan tulus iklas.
By Noberth Elifas Tob
By Noberth Elifas Tob
God Bess You Bro
BalasHapusGBU too bro
Hapusdimana ada jual buku nya bg
BalasHapusBukunya dijual di toko buku Kristen, misal Toko Buku BPK Gunung Mulia
HapusKesatuan Kekristenan tak boleh dihilangkan. Kita harus melihat kembali kesatuan kita, pada saman Keesaan Gereja itu sendiri. Dasar pemahaman teologis kita juga harus berdasarkan teologis Ketrinitarian/Tritunggal Allah itu sendiri.
BalasHapusSekian & terima kasih.
Hasil sidang raya dgd ke VI di Vancouver
BalasHapusijin copy saudaraku..
BalasHapusKira-kira apa saja kelemahan yang didapatkan dari buku ini.?
BalasHapus